SejarahTudu ini Bakid

0
978
Konon lokasi ini menjadi tempat musyawarah raja-raja terdahulu (Foto: muslim)
Konon lokasi ini menjadi tempat musyawarah raja-raja terdahulu (Foto: muslim)

Totabuanews.com, Kotamobagu – Berpuluh puluh abad tahun, para raja pernah membuat tempat atau lokasi dimana dijadikan tempat untuk bermusyawarah, salah satunya tudu ini bakid atau puncak yang berlokasi di gunung yang saat ini terdapat di Desa Pontodon.

Pembina Aliansi Masyarakat Bolaang Mongondow (Amabom) Zainal Abidin Lantong menuturkan, awal mulanya Tadohe serta raja-raja lainya menjadikan tempat tersebut untuk bermusyawarah, sebabnya lokasi itu terdapat di puncak yang tinggi agar supaya mereka bisa melihat serta memantau warga Bolaang Mongondow.

Selain itu dalam musyawarah tersebut juga, para raja-raja akan membahas persoalan adat-adat, seperti hukum adat hingga persoalan perkawinan dalam hal ini adalah harta atau “tali”. “Raja tadohe memilih lokasi yang tinggi agar dapat memantau pelosok Bolaang Mongondow,” Kata Zainul Abidin Lantong .

Diceritakannya, pada zaman Punu Mokodompit, dimana punu mencintai dan menikahi seorang perempuan yang bukan keturunan bangsawan, namun bisa dikata ia keturunan cina, hal itu menjadi cemohan bagi masyarakat sehingga perempuan tersebut memilih untuk pergi keluar daerah Bolaang Mongondow dan terdampar di Siau (Sanger).

Seiring berjalanya waktu, lahirlah seorang anak yang bernama Tadohe, pada umur 18 tahun, ibunya menceritakan leluhurnya yang berada di Bolaang Mongondow, Tadohe yang saat itu mendengar hal itu, langsung bergegas untuk pergi Berlayar ke Bolaang Mongondow dengan menggunakan perahu serta dikawal oleh anak buahnya, tiba-tiba dalam perjalan berlayar, pecahan ombak yang besar membuat mereka terombang-ambing dan terdampar di wilayah timur Bolaang Mongondow yakni Togid, sayangnya sejumlah anak buahnya tenggelam, yang selamat hanyalah Tadohe.

Tadohe yang saat itu berada di Togid masih merasa kebingungan untuk mencari tau leluhurnya, entah dimana dan mulai darimana. Disaat itu pula seseorang yang berada direrumbunan hutan melihat Tadohe dan langsung melaporkan kepada Bogani Inde Dou, dengan gerakan cepat berjalan, serta membawa peda (gayaw) inde dou menghampiri Tadohe dengan nada suara yang lantang inde menanyakan “siapa kamu?”. Kata inde dou.

Setelah percakapan terjadi antara Inde Dou dan Tadohe, inde yang saat itu tidak percaya bahwa Tadohe merupakan keturunan raja maka dibuktikanlah dengan memotong sebuah pohon Togid yang saat ini dinamakan desa togid.

Tadohe langsung mengambil peda atau gayaw yang diserahkan oleh inde dou dan tiba-tiba sekali tebas pohon togid tersebut roboh disaat bersamaan inde memeluk Ia dan mengatakan kepadanya bahwa “tanah Bolaang Mongondow ini milikmu”. Setelah meyakini bahwa tadohe itu merupakan keturunan dari Punu Mokodompit, Bogani Inde Dou mengajak Tadohe untuk pergi ke danau mooat yang merupakan tempat untu melakukan pemujaan kepada raja-raja dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan(lagu bolit) yang menceritakan kisah-kisah Bolaang Mongondow.

Sesampainya disana, di danau moat tedapat sebuah tempat yang bernama bambean tempat tersebut menjadi lokasi untuk melakukan ritual pemujaan terhadap raja-raja.

Di tempat itulah tadohe dilantik dan diakui oleh masyarakat untuk menjadi raja di Bolaang Mongondow.

Ketika Tadohe menduduki sebuah pimpinan di Bolaang Mongondow, Ia mencari tempat yang bisa terjangkau di pelosok sudut Bolaang Mongondow untuk melakukan musyawarah, dan didapatilah puncak gunung yang bernama Tudu In bakid yang kini bertempat di Desa Pontodon.

Mantan jurnalis pertama itu, menceritakannya lagi, dimana dalam musyarah tersebut disepakati dua keputusan yakni pertama keputusan perbedaan kelas / kasta dalam tingkatan masyarakat dan hukum adat yang mecakup persoalan pernikahan dalam hal ini adalah harta atau tali.

Dalam perbedaan kelas disepakati menjadi enam kasta diantaranya kelas Raja, Bangsawan, Koinginan, Tahi, Nonow, dan Yogu’at serta perbedaan harta pernikahan yang sudah ditentukan dalam masing-masing kelas.

Dari pantauan Wartawan totabuanews.com, dilokasi tersebut terdapat pemakaman keturunan raja-raja, serta dihiasi dengan hamparan pertanian lasang sawah-sawah. Kepada Media ini, Pembina Aliansi Masyararakat Bolaang Mongondow (Amabom), mengucupkan terima kasih dan syukur moanto karena masih ada generasi-generasi yang memperhatikan adat istiadat di Bumi Totabuan. “Kita telah mekar menjadi 4 kabupaten dan satu kota namun adat tidak akan pernah terpisah dan dimekarkan” tutup Zainul Abidin Lantong. (muslim/DK)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.