Awas, Krisis Wirausaha Mengintai Daerah Saudara…?

0
350

(Oleh : Malpin Dako, S.A.P, M.A.P)

Penulis : Kabid Bina UKM Dinas Koperasi dan UKM Kab. Bolaang Mongondow

Belum lama ini, Pemerintah Pusat melaksanakan kegiatan “Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) Tahun 2013” di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. Kegiatan yang digagas oleh Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia tersebut mengambil tema “Spirit of Global Entrepreneurship” yang ditujukan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat Indonesia umumnya agar dapat memanfaatkan peluang wirausaha yang belum banyak dimanfaatkan secara optimal khususnya oleh generasi muda. Pada kegiatan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan bantuan modal maksimal Rp 25 jt secara simbolis bagi sekitar 25.000 wirausaha pemula terpilih.

Yang dimaksud dengan wirausaha seperti yang telah disebutkan di atas, menurut pendapat Prawirokusumo (2010:26) adalah orang-orang yang dapat menangkap suatu ide atau peluang dengan jalan mengorganisir sumber daya dalam suatu usaha, menambah suatu nilai dalam usaha tersebut sehingga bermanfaat kepada pembangunan ekonomi suatu bangsa. Jadi wirausaha adalah mereka yang mampu membaca peluang bisnis/usaha di lingkungan ia berada, dimana dengan hal yang demikian ia mendapatkan ide untuk membuka suatu usaha dengan memanfaatkan sumber daya dan menambah nilai dari usaha yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi dan anggota usaha.

Kembali kebahasan mengenai kegiatan Gerakan Kewirausahaan Nasional. Disadari atau tidak, di dalamnya terselib berbagai harapan bahkan impian. Hal tersebut tidaklah berlebihan karena salahsatu program prioritas Pemerintah dewasa ini adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Harapan dan impian dimaksud adalah lahirnya wirausaha pemula yang kreatif dan inovatifi yang mampu memanfaatkan berbagai peluang usaha. Akan tetapi, impian dan harapan tersebut ‘konon’ masih dibubuhi warna kuning, tanda awas, hati-hati.

Tanda awas, hati-hati sebagaimana yang telah dikemukakan di atas sejalan dengan pendapat Suparyanto (2012) yang mengatakan bahwa dari sekitar 238 jt penduduk Indonesia, hanya 0,24 persen yang menjadi wirausaha. Walau peningkatannya tidak signifikan, Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia, Bapak Syarifuddin Hasan, ketika memberikan sambutan pada kegiatan HKN sebagaimana yang dikutip oleh salah satu media di Jakarta bahwa wirausahawan Indonesia baru mencapai 1,59 persen. Inilah yang coba Penulis paparkan ke hadapan Pembaca yang budiman, tidak lebih dari hanya sebagai sharing pendapat melalui sedikitnya tiga tanda awas sebagai berikut.

Tanda awas pertama yang perlu direnungkan bersama adalah adanya anggapan yang ‘disinyalir’ menyatakan bahwa suatu organisasi yang menangani pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) bahkan Koperasi tidak efektif dalam melaksanakan tugas khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat karena berbagai hal, salah satunya yaitu tidak adanya kontribusi berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke kas daerah. Anggapan ini sungguh amat disesalkan, mengapa? Karena organisasi dimaksud dalam melaksanakan tugasnya dapat diibaratkan sebagai “menanam rumput, sapi dilepas, tanpa susunya diperas, susunya sudah ada”, yang artinya bahwa ketika organisasi dimaksud berhasil melaksanakan tugas pokok dan fungsinya khususnya dalam melakukan pembinaan terhadap ekonomi masyarakat melalui berbagai program dan kegiatan yang pro rakyat berupa pelatihan kewirausahaan dengan mempertimbangkan potensi daerah yang kemudian melahirkan wirausaha baru, maka organisasi yang lain bisa langsung memeras susu, yaitu mendapatkan PAD dari suatu usaha masyarakat yang sebelumnya dibina oleh organisasi yang menangani Koperasi dan UKM. Mudah-mudahan anggapan dimaksud tidak benar adanya, sehingga peluang bagi terjadinya ego sektoral yang tidak berlandaskan atas konsep sistem, sedini mungkin tidak muncul kepermukaan.

Uraian mengenai tanda awas pertama di atas seyogyanya dapat memberikan angin segar bagi peningkatan kinerja organisasi yang bergerak di bidang pembinaan Koperasi dan UKM melalui berbagai upaya, termasuk organisasi lain yang secara sistem berkontribusi terhadap lahirnya wirausahawan baru sampai pada suatu keadaan yang memungkinkan seorang wirausaha pemula dapat terus eksis di tengah persaingan usaha yang semakin kompleks antara lain melalui upaya pendistribusian sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan dukungan dana yang memadai bagi pelaksanaan program dan kegiatan. Tanpa adanya mind set berpikir yang berlandasan sistem bahwa setiap sub unit organisasi memiliki kontribusi yang positif terhadap usaha pencapaian tujuan, maka harapan terhadap adanya rumput yang sehat dan segar untuk dikonsumsi oleh sang sapi, sulit untuk diwujudkan.

Tanda awas kedua yaitu ditandai dengan belum maksimalnya implementasi manajemen sumber daya manusia yang ‘konon’ telah memberikan sumbangsi yang brilian terhadap merosotnya kinerja suatu organisasi dalam usahanya untuk mencetak wirausaha pemula yang diilustrasikan oleh berbagai hal, diantaranya belum maksimalnya kemampuan seseorang di dalam suatu jabatan/pekerjaan karena belum memiliki pengalaman kerja yang memadai. Oleh karena itu, seyogyanya setiap karyawan diberikan forsi pengalaman kerja yang memadai dalam suatu jabatan/pekerjaan karena menurut Siagian (2002) bahwa faktor pertama dan utama yang sangat menentukan keberhasilan maupun kegagalan organisasi dalam mencapai tujuannya adalah sumber daya manusia.

Kemampuan sebagaimana tersebut di atas menurut Hasibuan (1995) adalah suatu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu. Karena waktu dan kemampuan Penulis yang terbatas, maka uraian mengenai tanda awas kedua ini hanya akan menyoroti salah satu subvaribel yaitu pengalaman dengan indikator lamanya penempatan seseorang dalam suatu pekerjaan/jabatan.

Untuk menjadikan seseorang profesional di dalam suatu pekerjaan atau jabatan, butuh waktu yang lama, minimal 2 tahun. Dikatakan demikian, karena dalam teori manajemen sumber daya manusia, ketika seseorang diseleksi dan dinyatakan diterima sebagai karyawan di suatu perusahaan, maka hal berikutnya yang mesti dilakukan adalah mengembangkan karyawan antara lain melalui pelatihan yang di dalamnya terjadi proses pengenalan mengenai apa, mengapa, bagaimana dan dimana pekerjaan itu mesti dilakukan serta kemampuan apa yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan, dalam kurun waktu kurang lebih enam bulan, dimana setelah pelatihan ini selesai, tahap selanjutnya yang mesti dilakukan oleh manajer SDM adalah menempatkan karyawan pada suatu posisi jabatan/pekerjaan yang sepatutnya didasarkan pada pertimbangan kompetensi/kemampuan. Dengan hal yang demikian, ketika ditempatkan dalam suatu pekerjaan/jabatan, diharapkan seorang karyawan telah memiliki bekal kerja yang memadai.

Akan tetapi, pengembangan karyawan tidak harus melalui pelatihan. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dikemukakan oleh Hasibuan (2000) yang menyatakan bahwa pengembangan karyawan juga dapat dilakukan melalui proses coaching dan menteroring, dimana seorang karyawan yang karena suatu pertimbangan ‘terpaksa’ ditempatkan pada suatu posisi, maka hal yang dapat ia lakukan adalah belajar melaksanakan pekerjaan melalui karyawan yang lebih senior yang sebelumnya sudah berpengalaman di bidang pekerjaannya saat ini. Dengan demikian, seorang karyawan yang ditempatkan pada suatu posisi yang kurang seirama dengan latar belakang pendidikan maupun pelatihan yang telah diikuti lambat laun akan mengetahui berbagai hal yang terkait dengan bidang tugasnya.

Hal lainnya yang perlu digaris bawahi adalah lamanya penempatan seseorang dalam suatu pekerjaan/jabatan. Dapat dibayangkan apabila ada karyawan yang penempatannya sudah tidak sejalan dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan, tetapi misalnya baru enam bulan sudah dipindahkan ke tempat kerja yang baru, padahal karyawan yang bersangkutan belum memiliki jam terbang yang memadai dipekerjaan sebelumnya, sehingga belum bisa dikatakan berpengalaman. Akibatnya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu komunitas masyarakat, khususnya dalam rangka melahirkan wirausahawan pemula dikhawatirkan menjadi tidak berkelanjutan karena orang lain yang baru ditempatkan mesti belajar lagi, minimal 6 bulan.

Sudah menjadi konsekuensi bagi seseorang yang bekerja di suatu organisasi untuk siap di tempatkan di mana saja, karena hal tersebut merupakan hak dan kewenangan dari manajer sumber daya manusia atau top leader di suatu organisasi. Top leaderlah yang berkewenangan membagi sumber daya ke setiap unit organisasi yang dipimpinnya, entah itu berupa sumber daya manusia, keuangan dan lain sebagainya, namun perhatian terhadap pengalaman kerja seseorang di suatu posisi/pekerjaan seyogyanya perlu dan tetap menjadi prioritas, termasuk penempatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi. Dengan hal yang demikian, maka peluang bagi terjadinya krisis wirausaha seminimal mungkin dapat dihindari.

Tanda awas yang ketiga atau terakhir adalah rendahnya motivasi masyarakat untuk berwirausaha. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Suparyanto (2012:1) bahwa motivasi sebagian besar penduduk Indonesia untuk berwirausaha relatif rendah. Apa yang dikemukakan oleh Suparyanto tersebut dilatari oleh beberapa hal antara lain adanya tekanan dari orang tua kepada anaknya untuk tidak menjadi pengusaha, tetapi lebih didorong untuk bagaimana agar menjadi PNS dengan berbagai alasan karena adanya anggapan yang konon menyatakan bahwa status PNS lebih tinggi dibanding menjadi pengusaha, padahal mereka yang menjadi pemimpin dan orang terkemuka dewasa ini banyak dari kalangan pengusaha. Manusiawi bila seseorang mencoba keberuntungannya lewat suatu seleksi pegawai, akan tetapi kalau kenyataannya tidak lulus, maka seyogyanya dapat beralih menjadi wirausaha. Dengan hal yang demikian, motivasi masyarakat untuk berwirausaha diharapkan meningkat.

Alhasil, tanpa adanya mind set yang beralaskan sistem terhadap suatu organisasi yang bertugas di bidang pembinaan usaha kecil dan menengah termasuk Koperasi, implementasi manajemen sumber daya manusia yang belum maksimal, serta rendahnya motivasi masyarakat untuk berwirausaha, maka krisis wirausaha bukan tidak mungkin akan mengintai daerah Saudara. Sekian, semoga bermanfaat…amin.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.