Moyosingog, Upacara pra perkawinan

0
359

TOTABUANEWS.COM, Moyosingog yaitu musyawarah kedua keluarga untuk membahas harta kawin (tali’) mas kawin (dati), besarnya gu’at dan gama hari perkawinan serta ketentuan adat lainnya dan biaya pesta perkawinan.

 Apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam peminangan lebih diperjelas pada tahap ini, terutama menyangkut harta perkawinan. Upacara ini dihdiri oleh sangadi, tua-tua adat, pegawai syari’I dan keluarga kedua belah pihak.

Kesepakatan terkait perkawinan yang sudah dicapai harus dijaga. Tapi kadang satu belah pihak ingkar atasnya, atau mengundurkan diri. Jika terjadi pembatalan salah satu satu pihak maka dikenakan sangsi adat sebagai berikut :

 Jika pihak wanita yang membatalkan maka pihak ini haris mengembalikan semua biaya dan harta yang telah diberikan oleh pihak laki-laki, ditambah dengan membayar setengah dari tala in adat (salah adat) kepada bobato dan guhanga in lipu.

 Bentuk harta kawin (tali), mas kawin (dati), gu’at dan gama’ berupa benda atau barang (kinuateng) dalam bentuk tanaman tahunan, piring antik dan kain (sikayu). Harta kawin (tali’) dalam bentuk kain (sikayu) sejak zaman penjajahan jepang sudah tidak dikenakan lagi, karena pada zaman itu sulit didapatkan kain.

 Dalam upacara moyosingog ini sangat diperlukan peran tua-tua adat, sebab ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam musyawarah, menyangkut wanita yang melahirkan diluar nikah atau kawin kedua kali, maka wanita tersebut tidak diberikan gu’at dan gama.

 Ketentuan menyangkut pemberian pada mempelai wanita tergantung ketentuan adat yang paling baru yang berlaku pada waktu itu. Sebagai misal, pada pemerintahan Raja Salomon Manoppo (1736-1767) tepatnya sekitar tahun 1735, permpuan yang tergolong boyot atau yang telah mendapat anak diluar nikah, mas kawin (dati) dibayar separuh saja yang telah ditentukan.

 Namun pada kepemimpinan Raja L C MANOPPO (1928-1938) pada tahun 1935 perempuan yang mendapat anak diluar nikah dibayar penuh mas kawinnya, sehingga anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak yang sah dalam perkawinan, meski tetap saja gu’at dan gama tetap tidak dibayar.

 Setelah musyawarah menentukan besar kecilnya harta kawin (tali’) mas kawin (dati) besarnya gu’at dan gama’ akan ditentukan hari perkawinan. Soal hari perkawinan, pada prinsipnya, masyarakat Bolaang Mongondow menganggap semua hari sama saja.

Namun perkawinan biasa dipilih dilakukan pada tanggal ganjil diatas tanggal 15 menurut kalender bulan atau kalender Islam. Ini terkait peristiwa penting mas kerasulan Muhammad SAW, seperti Isra’Mi’raj dan Nuzulul Qur’an.

Pada masa lalu, setelah masuknya agama Islam ada larangan kawin pada blan Muharram (bulan pertama tahun hizjriyah), karena salah kaprah seolah bulan itu adalah bulan haram. Tetapi kini bulan tersebut telah berubah karena bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang Islam.

Karena sahihnya, juga pada bulan Muharram banyak juga terjadi peristiwa penting dalam sejah Nabi dan Rasul Allah SWT. Sedangkan yang dilarang sampai kini adalah pada bulan Ramadhan, sampai Zulhijjah (diantara dua khutbah Idul Fitri dan Idul Adha), kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Larangan ini bukan sekedar berlaku untuk upacara perkawinan, tetapi jiga untuk upacara-upacara berkaitan dengan daur kehidupan (life cycle) yang lain.

Menjelang tanggal hari pelaksanaan perkawinan, keluarga pihak wanita kembali mengutus dua orang tua-tua adat kerumah pihak pria untuk menyampaikan, harta bersama dengan pengantin pria sudah saatnya dibawah ketempat pelaksanaan perkawinan. Penyampaian taba tersebut akan diterima dengan baik oleh tua-tua adat pihak pria.

Laporan : Fahmi Damogalada

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.