Kota Untuk Siapa ?

0
383

Oleh: Junaidi Amra

262622_4472301504364_552420715_nMasih segar dalam ingatan, saat kampanye Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwako) pertengahan 2013 silam, slogan ‘Kota Untuk Semua’ yang digembar-gemborkan oleh pasangan Walikota dan Wakil Walikota Kotamobagu pilihan rakyat Ir Hj Tatong Bara dan Drs Hi Jainuddin Damopolii, berhasil menjadi magnet yang cukup kuat dalam menarik dukungan. Namun, bukannya mendahului kehendak Tuhan, jika sekiranya pemerintahan TB-JaDi, singkatan pasangan Walikota dan Wawali terpilih yang masih seumur jagung itu, ternyata telah bisa diterawang kedepannya seperti apa. Betapa tidak, slogan yang awalnya menjadi daya tarik warga, serta pengharapan dari 50 persen lebih masyarakat Kotamobagu, yang menjatuhkan pilihan mereka terhadap sosok srikandi politisi, yang berpadu dengan birokrat senior itu, agar bisa menyatukan masyarakat, yang awalnya terkotak-kotak akibat perseturuan dan’duel’ politik dari para elite, kini justru terkesan menguap begitu saja. Restrukturisasi kabinet yang katanya tahap awal, dilakukan pasangan tersebut, menjadi salah satu bukti, bagaimana ‘keganasan’ politik telah merambah pemerintahan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam bahasa sejumlah media, ‘loyalis’ pemerintahan sebelumnya, mulai bertumbangan. Gantinya, kroni serta mereka yang sebelumnya dikatakan ‘berjasa’ bagi kemenangan pasangan ini mendapatkan ‘kursi’ empuk jabatan struktural.

Parahnya, banyaknya ‘pemain’ transfer dari daerah tetangga, seolah menjadi ‘pelecehan’ terhadap daerah yang disebut-sebut bakal menjadi calon Ibukota Provinsi Bolmong Raya ini. Terkesan miskin sumber daya, itulah yang sempat menjadi citra saat sejumlah media, dengan gagahnya memasang tag line ‘TB-JaDi Segarkan Kabinet’.

Tidak hanya itu, transfer pemain yang dilakukan pemerintahan ini, menjadi sangat ironis, ketika mengetahui ternyata ada sejumlah PNS ‘asli’ Kotamobagu yang dinilai memiliki kemampuan, bahkan pernah beberapa kali menjadi penbicara dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) PNS, justru ‘terparkir’ seolah menjadi rongsokan dalam pemerintahan.

Tidak hanya berhenti pada PNS, sebab sejumlah honorer daerah (honda) pun tak lepas dari sasaran ‘laras senapan’ yang terus membidik para kelompok kalah. Mereka yang awalnya bekerja sukarela dan digaji seadanya, dalam membantu jalannya pemerintahan, semasa wilayah ini masih baru dimekarkan, sehingga mendapatkan penghargaan sebagai salah satu Daerah Otonom Baru (DOB) terbaik setahun silam, tidak lepas dari ‘dendam’ politik yang tengah dilakoni, entah oleh penguasa atau kroninya. Enam honorer yang datang mengadukan nasib mereka ke DPRD Kotamobagu beberapa waktu lalu, hanyalah potret dari segelintir mereka yang dikorbankan.

Dalih rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk memangkas para honorer, disebabkan telah memberatkan keungan daerah, seolah menjadi ‘sabda’ yang tak bisa dibantah.

Imbasnya, masyarakat yang awalnya sudah mulai bisa menerima, ‘Sang Dewi’ justru terperangah dengan kejadian itu. Hasilnya, tentu sudah bisa ditebak, masyarakat kembali terkotak-kotak. Fanatisme pendukung yang masuk dalam kategori ‘kelompok kalah’ kembali menggelora.

Lebih mencengangkan lagi, saat simbol warga Kotamobagu yang sebagian besar penganut Islam, dan sempat ingin lebih dibangkitkan lagi oleh penguasa sebelumnya, dengan memugar dan membangun kembali Masjid Raya Baitul Makmur, justru terancam dihentikan pengerjaannya. Alasan klasik, soal keterbatasan anggaran menjadi dalih yang menguatkan kebijakan itu.

Jelas, pasti ada yang bereaksi pada tulisan ini. Namun, reaksi positif kiranya diharapkan. Sebab, bagaimanapun ini merupakan sebuah bentuk keresahan akan proses jalannya pemerintahan, terutama pembangunan yang ada di Kotamobagu.

Menjadi pertanyaan saat ini, yang kiranya bisa dijawab, Kota Untuk Siapa?. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.