TOTABUANEWS, BOLSEL – Ihwal pemberian gelar adat ‘Bogani in Totabuan’ oleh Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow (Amabom) kepada Kapolda Sulut, Brigjen Pol Wilmar Marpaung SH, Kamis (28/4) pekan lalu, terus menuai kontroversi. Ada yang menyatakan mendukung, tapi tidak sedikit pula yang menganggap proses pemberian gelar adat kepada orang nomor satu di tubuh Kepolisian Daerah Sulut itu kurang tepat.
Salah satuya datang dari Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Hi Herson Mayulu (H2M). Yang membuat Bupati dua periode ini geram adalah klaim dari Amabom bahwa pemberian gelar adat kepada Kapolda Sulut yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong Induk itu telah disepakati lima daerah se Bolaang Mongondow Raya (BMR).
“Katanya sudah disepakati oleh lima daerah di BMR. Saya tidak pernah sepakati itu. Karena itu saya tidak hadir. Hanya Asisten I yang hadir untuk menghargai undangan dari Pemkab Bolmong. Tapi tidak pakai baju adat,” ketus H2M saat membawakan sambutan pada salah satu agenda paripurna DPRD Bolsel, pekan lalu.
Dia juga menilai, Amabom hanya semacam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang notabene tidak berkompeten dalam pemberian gelar adat kepada seseorang yang ditokohkan. Dan katanya, apapun yang dilakukan oleh Amabom tidak boleh mengatasnamakan pemerintah daerah.
Menurutnya, jika pemerintah dan masyarakat Bolsel mau memberikan gelar adat, maka Bolsel bisa melakukan sendiri. Tentunya dengan tatacara sendiri sebagai mana adat yang ada di Bolsel.
“Selalu bawa nama BMR. Kita ini belum BMR. Provinsi BMR belum ada. Jadi kalau satu daerah memberikan penghargaan (gelar) maka tanggungjawab pemerintah daerah tersebut. Jangan bawa daerah lain,” papar Om Oku sapaan akrab H2M.
Lebih lanjut dia menjelaskan, yang jadi persoalan bukan orang yang menerima gelar. Tapi proses pemberian penghargaan adat itu yang menurutnya tidak rasional. Alasannya, gelar adat yang disematkan oleh Amabom tidak memiliki kekuatan hukum seperti peraturan daerah (perda) tentang adat.
“Jangan seperti lalu. Penjabat Gubernur, Sonny Sumarsono diberikan penghargaan dengan gelar adat. Artinya secara adat, figur tersebut sudah dilindungi karena sudah melekat penghargaan adat kapadanya. Tapi ketika Pak Sonny Sumarsono dihujat dan dihina sebagai seorang pembohong, tidak bisa berbat apa-apa. Kamana Amabom? Seharusnya Amabom memberi sanksi kepada orang yang menghina Penjabat Gubernur,” kata Bupati.
Dia mengaku khawatir, jangan sampai kejadian yang sama dialamai Kapolda Sulut yang notabene menyandang gelar Bogani in Totabuan (orang yang bijaksana, yang melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman). Itu hanya akan mencoreng nama baik daerah.
“Jadi tidak gampang dan semudah itu memberikan gelar adat kepada sesorang. Dan Amabom seenaknya beri gelar ini, gelar itu. Keabsahannya dimana?,” sebut Bupati H2M.
Oleh karena itu, sebagai Bupati, dirinya menginstruksikan kepada instansi terkait untuk segera merancang peraturan daerah (perda) tentang adat agar betul-betul dewan adat yang memiliki landasan hukum yang kuat. Karena seharusnya, kata Bupati dua epriode ini, proses pemberian gelar adat kepada sesorang harus diparipurnakan oleh DPRD.
“Dewan adat menyampaikan kepada bupati kemudian bupati meneruskan ke DPRD untuk diperdakan. Sehingga sampai kapanpun orang yang mendapat gelar itu terlindungi secara adat dari berbagai hal yang tidak diinginkan,” kunci Bupati Herson Mayulu.
Terpisah, Ketua Amabom BMR, Z A Lantong, saat dihubungi via ponselnya, menjelaskan terkait mekanisme pemberian adat. Katanya, pemberian gelar adat kepada Kapolda Sulut bukan atas keinginan Amabom. Melainkan keputusan dari 17 anggota dewan adat yang merupakan keterwakilan dari empat swapraja yakni Kadipang Besar, Bintauna, Bolaang Uki dan Bolaang Mongondow.
“Amabom hanya menjalankan apa yang sudah menjadi keputusan dewan adat tersebut. Dan pada dasaranya, apa yang sudah menjadi keputusan dewan adat wajib hukumnya untuk dilaporkan kepada Bupati/Walikota sebagai pemangku adat tertinggi di daerah,” terang ZA Lantong saat dihubungi wartawan via ponselnya, kemarin.
Dia juga menjelaskan, bahwa dari Bolsel ada tiga orang yang masuk anggota dewan adat BMR yakni, Prof DR Madun Utiah, Saleh Gobel dan Dedy Gobel.
“Mungkin ini hanya miskomunikasi saja. Kemungkinan perwakilan dewan adat asal Bolsel tidak melaporkan ke Bupati. Karena setahu saya, pribadi beliau (bupati) sangat mendukung pelestarian adat dan budaya Bolaang Mongondow Raya. Termasuk kontibusi pak bupati terhadap Amabom juga besar,” kuncinya.
Raldy D