TOTABUANEWS, OPINI – Sudah menjadi fakta bahwa Selama ini, kita didoktrin untuk mengakui asumsi “ekstrim” mengenai pendidikan yaitu “dengan pendidikan kita dapat mudah mengarungi samudera kehidupan”. Ini berangkat dari konsepsi pendidikan adalah hak dasar manusia. John Dewey misalnya dengan dalih, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan manusia menitik beratkan pengadaan pendidikan menjadi tanggung jawab sosial guna untuk membentuk disiplin hidup. Apabila pernyataan tersebut dianalisis lebih jauh, akan mengarahkan pada pemahaman bahwa, memenuhi kebutuhan pendidikan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Dan ini menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat. Termasuk negara dalam hal ini pemerintah sebagai penanggung jawab utama di lingkungan pendidikan formal. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan formal lainnya menjadi sasaran tuntutan utama apabila, pelaksanaan pendidikan menjadi carut marut.
Namun demikian, dunia pendidikan kita sempat dikagetkan oleh pernyataan Ki Hajar Dewantoro bahwa” Orang yang tidak sekolah bisa mencari makan dengan menjual kacang, berjualan sayuran, dan bisa hidup dari hasil kerjanya itu. Tetapi, anak yang sekolah yang dianggap sebagai anak pandai, malah tidak bisa mencari makan sendiri, bahkan semakin tinggi jenjang sekolahnya, jadi tambah tidak bisa cari makan, tidak bisa jual kacang goreng, malu bekerja kasar. Dengan membawa ijasahnya yang bagus, berkeliling memasuki kantor-kantor mencari pekerjaan. Dan jadilah penganggur apabila ia tidak mendapat pekerjaan di kantor. Sehubungan dengan itu, Pendidikan lantas kemudian menjadi kaku dan buntut hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata. Fungsi pendidikan dalam keluarga mulai terkikis. Dan bukan hanya itu, pendidikan dalam lingkungan masyarakat seakan jauh dari harapan. dimana membentuk karakter manusia yang baik telah menjadi pekerjaan sekolah sebagai lembaga formal pendidikan semata. Setidaknya, inilah gambaran kondisi pendidikan di Indonesia, Negara kita tercinta. Demikian analisis penulis mengenai benturan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Tentu saja ini semua tidak terlepas dari berbagai hal yang ikut mempengaruhinya.
Tanggung jawab pendidikan yang mestinya diurusi secara bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam hal ini mewakili unsur Negara, tidak menjadi harmonis. Dalam tataran konsep memang, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa yang tercurahkan dalam rangkaian makna seperti membentuk karakter manusia yang berbudi luhur, cerdas, bertaqwa kepada Tuhan, sehat dan kuat jasmani-rohani, mencintai nilai-nilai kemanusiaan yang baik seperti gotong-royong, tolong-menolong dan tenggang rasa serta lain sebagainya. Akan tetapi pada prakteknya, kita masih terjebak dalam aplikasinya di lapangan. sistem kelola dipelbagai lembaga pendidikan yang banyak mengalami blunder. Sebut saja dengan sistem birokrasi pendidikan yang mengarah pada pengambilan kebijakan yang keliru. Contoh kongkrit yang dapat penulis sajikan adalah dunia pendidikan kita dari waktu kewaktu di arahkan hanya pada pemaksimalan intelektual semata, tanpa memperhatikan aspek emosional dan spiritual. selain itu kurikulum pendidikan yang sering berganti tanpa melihat siap tidaknya seluruh daerah di Indonesia menerapkannya. Korupsi dana pendidikan juga turut mewarnainya. Tidak mengherankan bila, data yang didapat dari Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011, yang dikeluarkan UNESCO, Indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada posisi ke 69 dari 127 negara yang dinilai. Mengurai masalah dalam dunia pendidikan kita memang mesti berani dan mau menelanjanginya, sebab dengan begitu kita akan berbenah. Mungkin saat ini, dunia pendidikan kita, sedang berteriak meminta pertolongan akibat tata kelola yang belum sesuai dengan cita-cita luhur kemerdekaan.
Belum kelar penuntasan masalah pendidikan, disaat yang bersamaan kita dihadapkan dengan proses globalisasi. Suatu konsep tatanan dunia yang menyatu tanpa mengenal batas negara-bangsa lagi. Globalisasi adalah imbas dari perang dingin yang di menangkan oleh kubu blok barat yang di nahkodai amerika serikat mengalahkan uni soviet dari blok timur. Hegemoni yang dilancarkan adalah kebudayaan dan peradaban dunia dapat menyatu dan masuk keseluruh pelosok Negeri. Ini adalah lompatan yang lahir dari rahim majunya ilmu pengetahuan barat dengan kecanggihan tekhnologi. Baik itu tekhnologi informasi, komunikasi maupun transportasi. Kaitannya dengan dunia pendidikan adalah, peradaban barat yang di ekspos secara besar-besaran kemudian masuk dan membaur di Indonesia. Sebut saja pemikiran mengenai Liberalisme-kapitalis dan sosialisme-Komunis serta Ateisme di satu sisi, yang menguat dan turut mewarnai perjalanan kemerdekaan kita. serta ajaran tentang Humanisme, Pluralisme, Multikulturalisme ikut menumpang di sisi lainya. Dalam Ajaran mengenai konsep-konsep tersebut bukan tanpa alasan, globalisasi kemudian masuk dan merongrong dunia pendidikan indonesia. Tentu ada hal baik yang dapat di ambil, seperti kemajuan tekhnologi komunikasi yang mempermudah akses informasi, dan transportasi yang memperpendek jarak tempuh perjalanan. Akan tetapi, disaat yang bersamaan, pemanfaatan globalisasi yang keliru akan menimbulkan persoalan-persoalan selanjutnya. Misalnya saja, kita menjadi Negara konsumen atas produk-produk dari barat. Kemudian daripada itu, bahan mentah kita di beli dengan harga murah dan dijual kembali di indonesia dengan harga mahal. Disadari atau tidak, dunia pendidikan kita berada dalam dekapan globalisasi, yang dapat Memberi manfaat positif juga bisa mejadi bumerang dengan dampak negatifnya.
Globalisasi dan pendidikan baiknya dibenturkan, disaat yang bersamaan dielaborasi untuk mendapatkan pemahaman yang multi tafsir. Dampak yang di timbulkan akan beragam, inilah solusi alternatif yang dapat penulis rekomendasikan sehingga melahirkan kewaspadaan di satu sisi dan pemanfaatan disisi lainnya. Dalam hemat penulis, membenturkan globalisasi dan mengelaborasikannya pendidikan akan melahirkan gairah tersendiri, di antaranya adalah kewaspadaan yang sifatnya selektif dalam mengambil hal-hal yang baik dalam transfer budaya global. Memanfaatkan kecanggihan tekhnologi untuk kemudahan urusan-urusan pendidikan, seperti kemudahan mendapatkan referensi buku, artikel, akses, dan media pembelajaran yang menjadi keniscayaan akibat industrialisasi. Selain itu sikap memanfaatkan arus globalisasi yang tak terbendung lagi ini dengan cara memperkuat kultur budaya pekerti luhur untuk bersaing dengan seluruh Negera-Negara dan mampu menguatkan ekonomi politik secara internal, dan berbareng dengan Negara-Bangsa dunia lainnya untuk ikut melaksanakan keterbiban dunia secara eksternal. Tidak bisa selamanya kita hanya menjadi negara semipheyiperi atau negara pinggiran.
Hal ini tercermin juga dalam undang-undang dasar negara republik Indonesia. Sehingganya, tidak mengherankan jika globalisasi dapat mejadi pisau bermata dua. Dampak baik yang ditimbulkan bisa berubah menjadi petaka yang melululantahkan peradaban yang sudah ada dan mengakar. Pendidikan yang disusupi globalisasi akan melahirkan tujuan dan orientasi pendidikan yang bermuara pada materialistik. Dan sikap masyarakat akan berubah menjadi sangat individualistik. Kiranya demikian dampak negatifnya, sedangkan globalisasi dalam dunia pendidikan akan melahirkan persaingan baik konsep maupun prakteknya. Tidak berhenti disitu. Penulis yakin betul bahwa, pendidikan dengan topangan globalisasi dapat menjadi pendongkrak guna mengisi kemerdekaan Indonesia umumnya, dan dapat menjadi senjata ampuh dalam memperbaiki tata sistem pendidikan khususnya. Kuncinya adalah dengan konsepsi pendidikan yang tepat dan ditopang dengan realisasi dari program yang telah direncanakan akan melahirkan manfat yang positif. (*)