TOTABUANEWS, NASIONAL – Penetapan status tersangka kepada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow. Dinilai ambivalen dan cacat hukum oleh anggota DPR RI dari fraksi Gerindra.
Menurut Ahmad HI M Ali SE yang juga anggota komisi III DPR RI ini. Polda Sulut menetapkan Bupati Bolmong sebagai tersangka seolah-olah sebagai rakyat biasa atau provokator.
“Karena tanpa didasari pertimbangan hukum dan kewenangan yang melekat pada jabatan Bupati, ada dua peristiwa hukum yang terkesan hanya dilihat secara sepihak oleh aparat kepolsian,” ungkap Ali, Kamis (27/7/2017).
Dijelaskanya, Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT Conch North Sulawesi Cement (CNSC) di Desa Solog itu ilegal, karena tidak memiliki ijin mendirikan bangunan (IMB), dan belum memiliki Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) atas nama penambangan ilegal, tindakan penertiban yang dilakukan oleh aparat Satpol-PP Bolmong pada Juni 2017 sudah sesuai aturan.
“Karena hal itu diwujudkan dalam bentuk inspeksi terkait dengan ijin-ijin perusahaan di lokasi Pabrik PT CNSC, di jalan trans sulawesi oleh Bupati bersama dengan aparaturnya,” jelasnya.
Lanjutnya, dua rangkaian peristiwa hukum tersebut tidak menjadi dasar bagi kepolisian Polda Sulut, untuk menyelidiki kasus tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. “Justru Kepolisian menetapkan bupati secara sepihak, sebagai tersangka dalam satu kacamata peristiwa hukum saja. Tindakan penertiban yang dilakukan Bupati tidak dipandang oleh aparat kepolisian, sebagai ekses dari peristiwa melawan hukum yang dilakukan oleh PT CNSC di Desa Solog,” ungkapnya.
Sebaliknya kata Ali, pihak kepolisian tidak mempertimbangkan aspek kewenangan pemerintah daerah untuk melindungi sumber daya alam dan kebocoran anggaran negara oleh aktivitas ilegal.
“Kepolisian justru menempatkan Bupati Bolmong sebagai masyarakat sipil yang bertindak provokatif terhadap, aparaturnya dan memandang penertiban dalam kacamata perusakan fasilitas umum.
Pandangan semacam ini bisa berakibat blunder dalam penetapan hukum karena kepolisian tidak secara komperehensif melihat peristiwa hukum ini dari sisi sebab akibat. Kepolisian hanya menjalankan tugasnya dengan melihat peristiwa hukum hanya dari satu sisi saja,” katanya lagi.
Maka hal ini bisa mengakibatkan timbulnya tindakan kesewenang-wenangan, dan melemahkan fungsi dan kewenangan yang diemban oleh pemerintah daerah.
Padahal, kata Ahmad. Urgensi kasus ini terletak dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, pada Pasal 158 menyebutkan. “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak sepuluh miliar rupiah,” tegasnya.
Apalagi Pada Pasal 158 dapat kita pahami bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan pertambangan mineral dan batubara tanpa disertai dengan ijin usaha pertambangan akan dikenai sanksi, dengan kata lain usaha pertambangan mineral dan batubara wajib menggunakan ijin usaha pertambangan agar legal dimata hukum.
“Kasus dugaan pengrusakan properti milik PT CNSC ini berawal saat Bupati Yasti memerintahkan aparat Satpol-PP untuk menertibkan bangunan perusahaan yang dinilai tidak memiliki ijin usaha pertambangan. Penertiban tersebut berakhir dengan laporan perusakan aset milik perusahaan itu ke pihak polisi. Perusahaan mengklaim telah mengalami kerugian materiil berupa kerusakan bangunan sebanyak 11 unit, 240 buah kaca jendela, dan 100 daun pintu pecah,” pungkasnya.
Padahal proses penertiban yang dilakukan oleh Bupati Yasti sah secara konstitusional. “Untuk menyelamatkan kekayaan negara. Tetapi tindakan pengrusakan atas properti milik PT CNSC, dipandang sebagai tindakan pidana oleh kepolisian Pasal 170 KUHP juncto Pasal 52, 55 dan 56 KUHP, dan dianggap sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.
Oleh karena itu kata penetapan tersangka Bupati Bolmong dinilai oleh anggota fraksi gerindra DPR RI sebagai tindakanya terburu-buru yang mengandung cacat hukum. “Kesimpulan yang diambil kepolisian tidak mencerminkan profesionalitas dan terkesan subjektif. Oleh karena itu beberapa hal berikut perlu dilakukan, upaya penertiban yang dilakukan Bupati Bolmong sah karena PT CNSC tidak mengantongi ijin yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Perlu penyelidikan independent berkaitan dengan kasus ini karena terdapat sejumlah kejanggalan yakni, adanya dugaan subjektif penetapan tersangka oleh kepolisian,” sesalnya.
Maka perlu ada suatu investigasi menyeluruh pada usaha tambang perusahaan tersebut yang diduga telah melakukan penambangan ilegal. “Perlu didalami apakah terdapat tindak kejahatan lain yang mendorong terlaksananya aktivitas ilegal tersebut, yang berujung pada kasus penertiban,” tukasnya.
Ahmad yang juga guru besar universitas hasanudin ini medorong, Kapolri perlu melakukan penyelidikan terhadap aparaturnya di semua tingkatan yang menangani kasus ini. “Sebab terdapat kejanggalan yang bisa menodai sikap profesionalitas kepolisian dalam penegakan hukum,” tutupnya.
Peliput: Ebby Makalalag