TOTABUANEWS, KOTAMOBAGU – Lemahnya pemasaran kemiri di Kotamobagu, membuat Kotamobagu kehilangan identitas sebagai penghasil kemiri. Hal ini dikatakan oleh, Kepala Urusan Pemerintahan dan Kemasyarakatan, S.O Mokoginta, petani kemiri Desa Bilalang II, kepada sejumlah awak media, Jumat (23/02/2018).
“Sebagai penghasil kemiri terbesar, Bilalang II, Kecamatan Kotamobagu Utara, kehilangam identitas, karena lemahnya pemasaran. Petani kemiri hanya menjual di pasar-pasar tradisional secara manual, sebelum akhirnya dipasarkan lagi ke Gorontalo,” katanya.
Dirinya mengatakan, sempat memasukan pengolahan pemasaran kemiri ke Bumdes.
“Sudah, tapi Bumdes saja tidak cukup. Butuh dana yang besar, paling tidak untuk pengemasan, agar orang-orang tahu bahwa ini dari Bilalang, Kotamobagu. Dan kami juga, bisa menjual dengan harga lebih, apalagi ini bicara persaiangan pasar,” ujarnya.
Saat ini petani kemiri, lanjutnya, masih menggunakan metode tradisional.
“Tergantung matahari, biasanya harus dijemur selam 3 hari, itu jika matahari terik, kalau hujan, bisa berminggu-minggu. Kemudian dipecahkan dengan alat pololosi (sebuah kayu yang dibungkus kain, digunakan untuk memisahkan kulit dan isi kemiri). Semuanya masih manual, biasanya 3 kilo kemiri masih dengan kulit, menjadi 1 kilo isi. Isinya dijual Rp.28.000,00 perkilo, sedangkan kulitnya dihargai Rp.40.000, 00 perkoli,” jelasnya.
Dirinya berharap, pemerintah bisa mendampingi dan turut memberdayakan petani kemiri ini.
“Harapannya sih, semoga pemerintah bisa mendorong pemberdayaan dan memberikan dukungan berupa dana, serta upaya untuk inovasi, baiknya kemiri ini dibuat apa,” pungkasnya.
Neno Karlina