PEMANDANGAN indah, dan menarik tersaji jelas di Kotamobagu. Tak hanya kearifan lokalnya yang memukau. Sebuah kota yang berada di provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Indonesia. Menjadi salah satu daerah referensi, kemajemukan Indonesia.
Berjarak 180,4 Km dari kota Manado–ibu kota provinsi Sulut, Kotamobagu memiliki keunikan tersendiri. Berbagai suku, etnis, ras, agama, dan budaya bertumbuh subur di sini. Karenanya, tak berlebihan rasanya, jika Kotamobagu disebut sebagai miniatur Indonesia.
Di kota ini, nyaris setiap gelaran kegiatannya, didorong oleh kesadaran yang terbangun secara alamiah, untuk mendahului (kegiatan) dengan doa lintas agama, tak terkecuali, pada perayaan Cap Go Meh umat Tridharma (Tionghoa) di Kotamobagu, Jumat (02/02/2018) lalu.
Sebuah karnaval seni budaya, menampilkan puluhan bahkan ratusan, atraksi seni dan kebudayaan dari berbagai etnis, mewarnai sepanjang jalan Kartini di Kotamobagu. Tampak pula pemuka-pemuka agama, berbaris rapi tanpa saling mendahului, lengkap dengan kitab suci, dan atribut keagamaannya. Bahkan, seorang pemuka agama Islam, disusul pemuka-pemuka agama lainnya, yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), turut serta mendoakan, umat Tridarma agar senantiasa memperoleh keberuntungan, dan kebahagiaan, utamanya bisa tetap istiqomah dalam menjaga bingkai kedamaian, dan kerukunan hidup di Kotamobagu.
Sebuah gambaran, dan penegasan toleransi tinggi, serta implementasi terhadap Ke-bhineka-tunggal-ika-an yang ada, dalam wujud manusia yang berbudi luhur. Dan, terhadap kesepakatan pandangan masyarakatnya tentang, tak ada Tuhan dari keyakinan manapun, yang menghendaki diskriminasi.
Tak heran, umat Tridharma (Tionghoa) yang hanya berkisar, kurang lebih 77 KK (Kepala Keluarga), bisa hidup rukun berdampingan dengan umat agama lainnya.
Sementara, suku Mongondow, yang tercatat merupakan suku asli, yang mendiami kota ini, seolah memang telah terdidik jauh sebelum agama samawi menyebar di tanah Kotamobagu. Hal ini tampak jelas, saat melihat masyarakatnya, masih berpegang teguh pada ajaran leluhurnya, Motompian, Mototabian, bo Mototanoban (saling berbaikan, saling mengasihi, dan saling merindukan). Sebuah tatanan kehidupan masyarakat, yang menjadi kunci kedamaian di Kotamobagu, serta ditopang, oleh kesadaran dan dukungan penuh pemerintahnya, untuk terus mengupayakan, hal ini sebagai identitas yang tidak boleh dihapus, pun hilang dari Kotamobagu.
Sehingga, adalah sangat wajar, banyak suku pendatang: Gorontalo, Minahasa, Sangihe, Jawa, Bugis, Bali, bisa terterima sangat baik di Kotamobagu. Dan, akan sulit menemui sikap intoleran masyarakat, apalagi persekusi di kota ini. Inilah yang menjadikan Kotamobagu, memiliki nilai tawar tinggi, serta bisa jadi alternatif wisata budaya Kebhineka-tunggal-ika-an Indonesia. Bhineka Tunggal Ika, dari bahasa Sansekerta ini, tak hanya diartikan “berbeda-beda tetapi tetap satu” melainkan, juga diartikan sebagai sebuah kesadaran, dan ketaatan manusianya, yang purna serta bersungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama, dan keyakinannya.
Oleh: Neno Karlina – jurnalis