KONTESTASI pemilihan Walikota dan Wawalikota Kotamobagu, menyisahkan banyak hal menarik untuk disimak. Pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kotamobagu memplenokan hasil rekapitulasi perolehan suara yang menetapkan pasangan calon nomor urut 1, Tatong Bara-Nayodo Kurniawan (TBNK), sebagai jawara, mengalahkan pasangan calon nomor urut 2, Jainudin Damopolii-Surharjo Makalalag (Jadi-Jo), atmosfir kehidupan dunia maya, khususnya perfesbukan orang Kotamobagu berubah drastis.
Semua menjadi serba mendadak. Orang-orang mulai berdalil, perang opini di media sosial. Banyak yang mendadak menjadi lebih penulis dari seorang penulis. Menuliskan berbagai kepentingan kelompok, dan golongan. Walau agaknya ini ‘hambar’ untuk dibaca.
Kehambaran ini berlanjut menemui klimaksnya, saat pendukung militan pasangan Jadi-Jo unjuk rasa dan kebolehan, Kamis, (12/07/2018) menyampaikan segala bentuk protes terhadap Panitia Pengawasan Pemilihan Umum (Panwaslu) Kotamobagu, dan meminta nahkodanya, Musly Mokoginta turun jabatan.
Adalah salah seorang orator aksi, yang gagah, dan gamblang membakar semangat massa dengan auman gelegar suara khasnya, menyampaikan berbagai tuntutan, yang kemudian menarik perhatian. Betapa tidak, aksi heroik ini mendapat respon beragam, tatkala di sela-sela orasi yang seharusnya ilmiah itu, diduga (saya ulangi lagi–diduga) terdapat kata ‘Anjing’, yang entah oleh siapa, masih simpang siur, tapi jelas ditujukan kepada Panwas. ‘Anjing’ sendiri adalah kata yang kerap diartikan sebagai umpatan, dan dianggap kasar (jika disematkan pada manusia). Terlepas benar tidaknya, begitulah yang viral di dunia maya.
Di sinilah, tanpa malu-malu para orang dekat, mulai unjuk gigih; ajang perang gengsi, mempertontonkan segala kekurangan, dengan keukeh memaksa agar tampak terampil dan cakap, cukup mapan dan mempuni, sebagai garda terdepan pasangan yang diusung, sumber kekuatan untuk saling tuding dan saling bela. Saling olok dan memojokkan. Serupa kawanan monyet meneriaki/menertawakan kawanan sipanse, lucunya, sama-sama menyukai ranumnya pisang.
Tetiba, banyak orang mendongeng–menuliskan dogeng. Mengalahkan kemasyuran nama William, atau Sutardji. Sayangnya, tulisan dongeng itu, tidak diberengi keinginan lagi dan lagi, (belajar) menulis dongeng baik dan benar, sesuai kaidah dan standarisasi perdongengan tanpa hanti. Dongeng-dongeng serupa pesanan, dibeli atau tidak, saya meyakini ini akan selesai seiring berakhirnya riak-riak Pilwako.
Sebenarnya ini bagus, orang Kotamobagu mulai membudayakan literasi, di tengah budaya membaca bangsa yang masih lemah. Tapi, tidakkah mereka menyadari. Kenapa penulis kerap ‘miskin’–materi?
Seorang penulis, yang memiliki kemampuan lebih dalam pemahaman bahasa, mencipta karya yang sangat baik, pun penulis yang masih alakadarnya, atau yang menjadikan penulis sebagai profesi, tentu saja harus berangkat dari kesenangan dan rasa cinta. Ya, mencintai dunia bahasa, dan karya tulis.
Namun kenyataannya, tak segampang itu, segalanya butuh perjuangan memang, tampak kejamakan terjadi pada hidup para penulis ini. Sejatinya, penulis tidak menulis karna pasanan, baik karna kondisi hatinya, atau karna keinginan. Kalau mendongeng, tanpa menulis pun bisa dilakukan. Apalagi penulis yang mendongengkan Pilwako. Ah, abang siapakah Peri di atas kertas itu? Kecantikannya dalam memenangkan pertarungan yang paripurna, mampu menyihir pendongeng mau menulis.
Penulis : Neno Karlina