TOTABUAN.NEWS, OPINI – Sedikit catatan kaki yg menarik dan bisa menjadi bahan edukasi politik nasional dari seorang kader golkar yang berpengalaman serta berdedikasi tinggi.
Terlepas dari hasil raihan pilpres yg msh berproses akhir di mahkamah konstitusi sedikit kami membuka lembaran kajian positioning Golkar sebagai partai tertua direpublik tercinta ini.
GOLKAR DAN RAIHAN TERBAIKNYA KINI.
Sukses pemilu 2019
What did you guys do? Apa yang kalian lakukan? Rahasia apa yang ada di balik sukses Golkar? Pertanyaan ini gampang-gampang susah. Namun sebelum menjawabnya, mungkin saya perlu jelaskan sedikit tentang konteks keberhasilan partai beringin ini.
Buat saya, pemahaman mengenai hal ini, dan pengertian tentang Pileg secara keseluruhan, masih cukup simpang siur. Mungkin hal ini wajar saja, sebab perhatian publik dalam pemilu serentak yang baru saja kita lalui umumnya memang lebih tertuju pada dinamika Pilpres.
Kebingungan dan kesimpang-siuran tersebut terlihat, misalnya, dalam berbagai laporan media setelah KPU selesai melakukan rekap serta mengumumkan hasil akhir pemilu pada 21 Mei dini hari. Format pelaporan rekap ini seragam, baik Pilpres maupun Pileg, padahal pengertian keduanya sama sekali berbeda.
Pada Pilpres, format pelaporan yang benar memang sederhana: Jokowi-Amin 55,5 persen, Prabowo-Sandi 44,5 persen. Angka-angka ini berakhir di situ, sebagai sebuah penghitungan kalah-menang.
Pada Pileg, angka yang direkap dan ditampilkan KPU pada dini hari itu bukan akhir, tetapi justru sebuah awal dari penghitungan selanjutnya. Ia masih perlu “diterjemahkan” lagi ke dalam 80 dapil dari Aceh hingga Papua, lewat metode penghitungan Sainte Lague, untuk melihat perolehan kursi masing-masing partai politik.
Jumlah kursi itulah yang menjadi akhir dari semua penghitungan kalah-menang atau komposisi kekuatan riil dalam parlemen nasional. Inilah yang menjadi ujungnya Pileg 2019.
Dan lewat ukuran ini, posisi lima partai teratas agak berbeda dengan urutan dalam rekap pada laporan KPU tadi. Urutan dan perolehan kursi masing-masing partai teratas tersebut adalah sebagai berikut: PDIP (128), Golkar (85), Gerindra (78), Nasdem (59), dan PKB (58).
Dengan cara itu, kita kemudian bisa melihat bahwa Golkar, bersama PDIP, tetap berada dalam dua besar kekuatan politik nasional. Hal ini adalah sebuah rekor tersendiri. Sebab sejak pemilu demokratis pasca-Orde Baru, Golkar adalah satu-satunya parpol yang tidak pernah terdepak dari posisi dua besar ini (PDIP pernah berada di urutan ketiga, yaitu pada Pileg 2009).
Selain itu, dari jumlah kursi di atas, bisa dilihat bahwa pencapaian Golkar melampaui secara cukup signifikan pencapaian Gerindra yang menikmati efek ekor jas, the coat tail effect, sebuah pengaruh positif yang oleh para ahli politik dianggap terjadi secara otomatis jika suatu partai mengusung kandidat Capres dari dalam partai mereka sendiri.
Pencapaian seperti itu tidak boleh dipandang sebelah mata. Apalagi kalau kita ingat bahwa selama beberapa tahun sebelum Pemilu 2019, tidak ada parpol papan atas selain Golkar yang pernah diterpa badai begitu besar, susul-menyusul, dan berkepanjangan.
Perpecahan internal yang tajam antara dua kelompok kepemimpinan (Munas Bali dan Munas Ancol) berlangsung hampir dua tahun dan berujung di meja hijau. Setelah itu, kepemimpinan baru muncul sebagai sebuah solusi yang lumayan produktif, yaitu duo Setya Novanto dan Idrus Marham, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Namun, selang kurang lebih setahun kemudian, duo ini juga berakhir di meja hijau dalam sebuah kasus korupsi yang heboh serta diliput luas oleh media nasional. Dari segi wibawa partai di hadapan publik, kasus ini bagaikan gelombang tinggi yang menyapu dan menghentak, mulai dari geladak hingga ke buritan kapal besar Partai Golkar.
Untungnya prahara ini cepat diselesaikan lewat Munaslub pada Desember 2017, dengan terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai nakhoda baru. Namun, the damage had already been done. Efek tajam semua itu terlihat pada krisis kepercayaan publik yang dicerminkan oleh berbagai survei yang muncul sejak awal hingga pertengahan 2018.
Pada umumnya survei-survei tersebut menunjukkan bahwa dampak elektoral semua itu memang sangat riil. Dalam survei Harian Kompas pada periode itu, misalnya, diperoleh estimasi bahwa suara Golkar akan merosot ke kisaran 6 persen, cukup jauh di bawah Gerindra. Dengan suara serendah itu, posisi Golkar bahkan terancam oleh PKB.
Dalam hitungan kemungkinan perolehan kursi DPR RI, terjemahan angka serendah itu adalah sebuah mimpi buruk. Sebab range pencapaian Golkar diduga akan melorot, dari 91 kursi menjadi hanya 50-60 kursi.
Bagi sebuah kekuatan politik yang sudah berusia lebih setengah abad, “mimpi buruk” adalah sebuah ungkapan yang mungkin terlalu lembut untuk menjelaskan ancaman eksistensial tersebut. Tapi kurang lebih demikianlah situasi yang terjadi saat itu.
Singkatnya, itulah konteks mengapa pencapaian 85 kursi Golkar dalam Pileg 2019 dianggap mengejutkan. Tidak main-main, dalam waktu kurang lebih setahun, Airlangga sebagai nakhoda baru serta seluruh slagorde kekuatan beringin sanggup bergerak cepat dan meraih prestasi yang cukup jauh di atas ekspektasi banyak orang.
Dalam pengertian itulah bisa dikatakan bahwa Golkar memang bukan partai kemarin sore. Seperti sebuah judul lagu populer yang dinyanyikan Phil Collins di tahun 1980-an, partai ini mampu bertarung melawan nasib, against all odds, dengan hasil yang seharusnya membanggakan semua kader yang bernaung di dalamnya.
Sekarang, kita bisa kembali ke pertanyaan Anies Baswedan atau pertanyaan lain semacamnya: rahasia apa yang berada di balik sukses Partai Golkar?
Adakah faktor-faktor strategis yang dapat menjadi bahan pelajaran ke depan, baik bagi kader beringin sendiri maupun bagi partai-partai lainnya yang ingin mengukir sukses dalam pemilu di masa-masa mendatang?
Dalam politik, sebagaimana dalam banyak dimensi kehidupan lainnya, faktor yang menentukan sebuah sukses pasti berasal dari kombinasi berbagai hal. Bagi Golkar, faktor pertama yang perlu dicatat adalah kualitas serta jaringan kader di berbagai tingkat, baik nasional maupun lokal.
Secara umum, mereka adalah politisi tangguh, kenyal, banyak akal, serta memiliki penciuman politik yang tajam dan terlatih.
Karena kualitas semacam inilah, pada puncak terpaan badai politik di awal hingga pertengahan tahun lalu, mereka tidak patah atau porak-poranda. Mereka terus memendam harapan. Setelah badai reda, mereka kemudian memicu diri untuk bekerja ekstra keras mempertahankan atau merebut dukungan di daerah pemilihan masing-masing.
Faktor penting berikutnya berhubungan dengan tipologi kepemimpinan serta karakteristik tokoh yang berada di puncak piramida organisasi Golkar. Dalam hal ini, sosok Airlangga Hartarto sebagai nakhoda baru membawa keberuntungan tersendiri.
Pada dasarnya, Airlangga adalah seorang consensus builder, tokoh yang mampu merangkul banyak pihak yang berbeda. Ini suatu hal yang sangat dibutuhkan Golkar setelah era perpecahan panjang yang meletihkan.
Karena itu, relatif tanpa banyak hambatan, ia mampu merajut kembali kebersamaan, melakukan konsolidasi internal, serta memperoleh dukungan dari senior-senior partai yang berpengaruh, seperti Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, dan Agung Laksono.
Selain itu, Airlangga juga memiliki suatu hal yang sangat cocok bagi DNA Partai Golkar. Tokoh seperti dia, dalam literatur ilmu politik, sering disebut teknopol, technocrat-politician. Ia seorang pejabat tinggi pemerintahan (Menteri Perindustrian) serta memiliki pengalaman politik di parlemen yang cukup panjang.
Singkatnya, ia menggabungkan dua dunia yang berbeda, tetapi saling berhubungan dan menjadi pilar politik dalam pemerintahan demokrasi. Dengan modal seperti ini, Airlangga terbukti mampu mengarahkan kapal besar Golkar untuk keluar dari masa-masa sulit menjelang Pemilu 2019.
Faktor ketiga yang juga penting di balik sukses Partai Golkar adalah strategi kampanye yang jitu. Sejak awal, Airlangga dan tim inti yang dibentuknya menyadari bahwa Golkar harus menggunakan the state of the art dari kampanye politik modern.
Karena itu, selain kampanye darat serta pemanfaatan jaringan akar rumput yang efektif, Golkar juga melancarkan serangan udara yang cukup masif, baik di media konvensional seperti televisi maupun di media jenis baru (medsos).
Dalam hal terakhir ini, bisa dikatakan bahwa Partai Golkar berdiri di garis terdepan di antara partai-partai yang ada dalam penggunaan teknik dan teknologi kampanye mutakhir, khususnya lewat Facebook, Instagram, dan YouTube. Keunggulan seperti ini jelas terlihat, baik dalam skala maupun dalam profesionalisme penggunaan medium baru yang ampuh tersebut.
Lewat medium inilah berbagai ide serta isu kampanye yang menjadi ciri khas Golkar sebagai partai tengah dan partai pro-pembangunan disebarkan ke berbagai kalangan masyarakat, khususnya kepada kaum pemilih muda yang jumlahnya tidak sedikit, hampir mencapai seratus juta jiwa.
Selain semua itu, dalam soal strategi, ada satu elemen lagi yang tidak boleh dilupakan. Pemilu 2019 bersifat serentak, suatu hal yang baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Saat partai-partai lain masih gamang dan mencari cara yang tepat dalam mengelola konsekuensi pemilu serempak ini, Airlangga dan tim inti di sekitarnya sudah sejak awal merumuskan langkah-langkah kreatif dengan melahirkan Relawan Gojo (Golkar Jokowi), sebuah organ kampanye yang di Amerika Serikat biasa dikenal sebagai PAC, political action committee.
Langkah seperti ini membuka ruang yang lebih leluasa dan fleksibel bagi Golkar untuk melakukan dua tipe kampanye secara simultan, baik dalam Pileg maupun dalam Pilpres, untuk mendukung pemenangan Jokowi-Amin. Dengan begini, Golkar memperluas panggung untuk meningkatnya party brand-nya sendiri, serta pada saat yang sama membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan Jokowi sebagai the north star di langit politik Indonesia.
Kurang lebih, itulah beberapa faktor penjelas terhadap sukses Golkar dalam pemilu yang baru saja berlalu. Kualitas kader dan jaringan politik, tipologi kepemimpinan, serta strategi kampanye yang jitu dan kreatif, semua ini memberi kontribusi dalam takaran masing-masing. Sehingga Golkar, di luar dugaan semula, mampu “mengalahkan” Gerindra dan mempertahankan posisi terhormat sebagai dua besar kekuatan politik nasional.
Terhadap semua itu, barangkali perlu ditambahkan satu faktor penting lagi, yaitu karakteristik Golkar sendiri sebagai sebuah organisasi politik.
Pada umumnya, parpol besar Indonesia bersandar pada satu atau dua tokoh utama. Parpol yang berbasis Islam memang agak berbeda, tetapi praktis semua parpol besar di luar itu selalu bersandar pada ketokohan individu sebagai penopang utamanya: PDIP dan Megawati, Gerindra dan Prabowo, Nasdem dan Surya Paloh, Demokrat dan SBY.
Di sinilah terletak keunikan Partai Golkar. Ia seperti perusahaan terbuka, tanpa seorang pun yang menjadi pemegang saham pengendali. Hal ini membuatnya lentur, adaptif, dan sangat terlatih dalam bermain di panggung kekuasaan.
Hal ini juga yang mengharuskan para politisi yang berada di lapisan kepemimpinan Golkar untuk memiliki antena yang peka atau penciuman yang ekstra tajam terhadap peluang-peluang politik yang datang dan pergi.
Semua ini adalah produk transformasi internal Golkar saat beralih dari sekadar alat kekuasaan Orde Baru menjadi sebuah kekuatan politik yang berdiri di atas kaki sendiri. Ibaratnya, kalau boleh memodifikasi sedikit kata-kata novelis Ernest Hemingway, Golkar tumbuh dan berhasil mencapai tingkat true nobility out of its former self.
Karakteristik semacam itulah yang menjadi fondasi bagi keberhasilan Partai Golkar, baik dalam pemilu yang baru saja berlalu maupun dalam empat pemilu sebelumnya sejak dimulainya era reformasi.
Dan, bagi saya, selama karakteristik demikian terus bertahan, Golkar akan menempati posisi terhormat serta senantiasa memainkan peranan positif dalam perkembangan demokrasi Indonesia di masa-masa mendatang.
Penulis : Aditya Didi Moha S Ked, MM