TNews, JAKARTA – Perairan Natuna di Kepulauan Riau (Kepri) memiliki ‘harta karun’ yang mungkin belum diketahui banyak oleh masyarakat awam. Polemik Natuna memang sudah sejak lama terjadi, sampai pada akhirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menjadi pijakan Indonesia dalam menegakkan kedaulatan wilayahnya di Natuna.
Pengadilan Internasional di 2016 menyatakan klaim China atas Nine Dash Line atau 9 Garis Putus-putus yang ada sejak 1947 dinilai tidak mempunyai dasar historis. Namun belakangan ini kapal-kapal nelayan China mengatasnamakan nine dash line untuk masuk ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau tanpa izin.
Indonesia pun tidak diam begitu saja, karena masalah ini menyangkut dengan kedaulatan negara. Garis putus-putus menjadi batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu ini membentang dari utara, menabrak laut Filipina, terus ke selatan, hingga mencaplok sebagian Perairan Natuna milik Indonesia.
Namun Indonesia tidak mengakui konsep 9 Garis Putus-putus yang dinyatakan China itu. Pijakan hukum Indonesia ada dua. Pertama, Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut pada tahun 1982 atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Kedua, putusan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan untuk menyelesaikan sengketa Filipina vs China (South China Sea Tribunal) tahun 2016.
Pemerintah Indonesia juga menolak mentah-mentah klaim sepihak dari China. Pemerintah menilai bahwa China sudah melakukan pelanggaran yang termasuk kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai China di perairan Natuna.
Tidak heran jika China sampai klaim Natuna menjadi bagian negaranya. Sebab, dalamnya ada beragam potensi hasil laut mulai dari cumi-cumi, lobster, kepiting, hingga rajungan. Bahkan di dalam perairan Natuna juga terdapat sumber energi yang melimpah. Mari kita ulas satu-satu.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Cumi-cumi menjadi komoditas laut dengan potensi hasil paling banyak. Setidaknya ada 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna.
“Di datanya itu, potensi per tahunnya lobster ada 1.421 ton, kepiting, 2.318 ton, rajungan 9.711 ton. Cumi-cumi paling banyak nih, dia ada 23.499 ton per tahun,” ungkap Plt. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono, Sabtu (4/1/2020).Beberapa jenis ikan di Kabupaten Natuna, yang potensial untuk dikembangkan antara lain ikan dari jenis kerapu-kerapuan, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar, kembung, udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi, dan sotong.
Tidak heran jika kapal asing sering wira-wiri ke Natuna. Selain China, puluhan ribu kapal dari Malaysia, Thailand, Vietnam juga dikabarkan pernah ‘singgah’ di Laut Natuna.Beberapa jenis ikan di Kabupaten Natuna, yang potensial untuk dikembangkan antara lain ikan dari jenis kerapu-kerapuan, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar, kembung, udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi, dan sotong.
Sedangkan di sektor energi, berdasarkan data SKK Migas, total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara, untuk cadangan minyaknya diperkirakan mencapai 36 juta barel. Selain minyak, Natuna juga memproduksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD.
Wilayah ini juga punya blok gas raksasa terbesar di Indonesia yaitu blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak 1973. Volume gas di blok East Natuna bisa mencapai 222 TCF (triliun kaki kubik). Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF , jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF.
Sayangnya, kandungan karbondioksida di blok tersebut sangat tinggi, bisa mencapai 72%. Sehingga perlu teknologi yang canggih untuk mengurai karbon tersebut.
Sumber : Detik.com