TNews, WISATA – Sejak 2005, lembaga swadaya masyarakat Wildlife Conservation Society Indonesia Project (WCS IP) Sulawesi Utara melakukan upaya pelestarian burung Maleo (Macrocephalon maleo) di pantai Tanjung Binerean, Desa Mataindo, Kecamatan Pinolosian Tengah, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Maleo merupakan salah satu spesies endemik Sulawesi yang populasinya terancam punah karena telurnya terus diburu. Berbeda dengan site yang ada di Muara Pusian dan Tambun yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), site Binerean berada di luar kawasan TNBNW. “Burung Maleo-nya memang berasal dari kawasan TNBNW, tetapi mereka datang bertelur di pantai ini,” ujar Manager Maleo Project WCS IP Iwan Honuwu, Sabtu (29/09/2012) ketika melakukan monitoring rutin.
Sebelum Maleo Project berlangsung, telur-telur Maleo di Binerean menjadi incaran para pemburu telur untuk dijual. Sifat Maleo yang meninggalkan begitu saja telurnya di lubang pasir yang digalinya membuat perkembangbiakan populasinya terancam. “Jika tidak dilakukan usaha konservasi, mungkin spesies Macrocephalon maleo ini tinggal catatan saja,” kata Iwan lagi.
WCS IP lalu melakukan pendekatan terhadap penduduk yang berada di seputar Bineran. Para pemburu pun didekati, lalu secara perlahan diberi edukasi pentingnya melestarikan satwa endemik ini. “Lewat pendekatan kepada masyarakat, kini bahkan penjaga Pos Penelitian Maleo Bineran merupakan bekas pemburu telur yang terkenal waktu itu,” ujar Iwan lagi.
Jika musim bertelur tiba, Maleo yang ada di Binerean datang menggali pasir yang terdapat di sepanjang Tanjung Binerean dan Pantai Torosik. Setelah bertelur, induk Maleo akan meninggalkan begitu saja telurnya, sampai siklus alami memungkinkan telurnya menetas, kemudian anak Maleo keluar dari pasir secara mandiri tanpa diasuh oleh induknya. “Cara bertelur itu sangat rentan dari predator. Selain incaran manusia, biawak dan anjing juga merupakan predator utama,” kata Hanafi Baso yang dipercaya menjadi penjaga site Binerean.
Agar lokasi bertelur Maleo tidak terusik oleh kegiatan warga, WCS IP sengaja membebaskan lahan di sepanjang garis pantai Binerean terutama lokasi bertelurnya. “Maleo punya insting sendiri mencari pasir yang mengandung sumber panas tinggi untuk menetaskan telurnya. Kami memberi mereka pantai ini dengan membelinya dari warga,” ujar Iwan.
Lewat kemitraan bersama Pelestarian Alam dan Satwa Liar (PALS), kini Maleo di Bineran punya lahan sendiri seluas 140 hektare. Area seluas itu bukan hanya untuk Maleo bertelur, tetapi sekaligus menjadi lahan koridor pendukung. “Hutan di sekitarnya perlu juga dilindungi, karena sebelum datang bertelur, pohon-pohon yang ada di hutan itu menjadi tempat transit Maleo. Kami membebaskan lahan itu dari aktivitas warga, agar Maleo tidak terusik,” ujar Iwan memberi alasan.
Lahan yang dibebaskan oleh WCS IP dan PALS dulunya merupakan lahan warga Mataindo yang sudah ditanami berbagai pohon kelapa. “Kebun kelapa yang ada di lahan yang kami bebaskan, kelak akan menjadi sumber pendanaan Maleo Projecty di sini. Buah kelapa yang dipetik dan dibuat kopra, dijual lalu hasilnya dipakai untuk kelanjutan pelestarian Maleo. Jadi Maleo di sini punya kebun kelapa sendiri,” ungkap Iwan bangga.
Sekarang, di lahan 140 hektare tersebut sudah terdapat lebih kurang 1.400 pohon kelapa. “Kami masih butuh sekitar 1.500 pohon lagi, agar Maleo Project di Binerean betul-betul mandiri mendanai seluruh kegiatannya. Saat sekarang kami sedang mencarikan dana untuk tambahan pembebasan lahan,” ujar Iwan berharap.
Pengelolaan Konservasi Maleo di Bineran patut dijadikan contoh. Apa yang sudah dilakukan oleh WCS IP dan PALS adalah sebuah konsep konservasi yang melibatkan warga lokal. Warga pemilik lahan yang dibebaskan, tetap dilibatkan ketika panen kelapa tiba. Mereka disewa untuk mengelola panen kelapa tersebut. “Begitu juga, untuk menuju tanjung Bineran yang harus menggunakan perahu, kami mengharuskan pengunjung menyewa perahu warga. Untuk suplai logistik Basecamp pun, kami belanja di warung warga yang ada di desa, tidak membawanya dari Manado,” ujar Iwan bangga.
Iwan juga mengemukakan, kedepan pengelolaan site Bineran akan dikembangkan menjadi destinasi ekowisata dengan minat khusus dengan melibatkan semua sumberdaya warga lokal. “Guide-nya harus orang lokal. Homestay harus menggunakan rumah warga, begitu pula transportasi dan belanja logistik, semua harus dilakukan di desa. Dan bahkan mungkin management ekowisatanya dikelola sepenuhnya oleh desa, agar warga desa merasa memiliki Bineran,” harap Iwan.
Tentunya paket wisata yang akan dikemas merupakan paket wisata terbatas. Semacam wisata edukasi konservasi dengan mengamati Maleo bertelur. Dan bukan itu saja, di hutan Tanjung Binerean terdapat berbagai jenis satwa endemik lainnya, terutama burung. “Dengan view pantainya yang sangat indah, kelak Bineran akan menjadi sebuah destinasi ekowisata edukasi konservasi yang banyak diminati oleh penyuka alam dan satwa liar. Dengan demikian Maelo Project akan terus berlangsung tanpa tergantung dari donotur lagi. Masyarakat desa sendirilah yang akan mengelolanya,” harap Iwan.
Sumber : kaskus.co.id