TNews, Jakarta – Guru Besar Hukum Internasional FH UI Hikmahanto Juwana menilai permasalahan Laut Natuna antara RI dan China tidak akan pernah usai. Alasannya, kedua negara antara Indonesia dan China dinilai tidak mengakui masing-masing dasar hukum soal Laut Natuna.
Himahanto mengatakan Indonesia mengklaim bahwa Laut Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) RI atas dasar Konperensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 atau UNCLOS 1982. Sementara China mengakui bahwa pihaknya berhak atas sumber daya alam di Natuna berdasarkan 9 garis putus-putus China yang melewati ZEE RI itu. “Kalau dari pemerintah Indonesia kita menarik garis 200 Mil itu mengarah katakanlah ke China itu dasarnya adalah UNCLOS karena kita adalah peserta dari Konperensi Hukum Laut tahun 1982,” ujar Hikmahanto saat diskusi ‘Pantang Keok Hadapi Tiongkok’ di Warunk Upnormal, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (12/1/2020).
“Sementara dari sisi pemerintah China dia membuat garis yang namanya 9 garis putus nah ini banyak bersinggungan, jadi ada tumpang tindih dengan kedaulatan dari misalnya Philipina, Malaysia, Vietnam. Tapi dengan Indonesia itu nggak bersinggungan bukan di 12 Mil itu. Tapi bersinggungan dengan ZEE kita,” lanjutnya. Hikmahanto menyebut karena perbedaan dasar hukum tersebut, klaim China dan RI di Perairan Natuna tidak akan selesai sampai akhir zaman. Dia menilai kedua negara tidak mau bernegosiasi atas klaim tersebut.
“Nah atas dasar ini maka saya bilang masalah itu tidak selesai sampai akhir zaman, karena kalau kita dengan Vietnam kita di ZEE itu kita punya persoalan tapi berbedanya kalau kita mengatakan klaim dari Veitnam, Vietnam mengakui dasar kliam kita. Sehingga kita mau berunding. Tapi kalau dengan China bagaimana kita bernegosiasi kalau kita saja tidak mengakui dasar dari klaim mereka. Sebaliknya China juga tidak akan bernegosiasi, dia tidak mengakui klaim dari kita,” tegas Hikmahanto.
Hikmahanto mengatakan China mengatakan mereka berhak atas sumber daya alam yang ada di 9 garis putus-putus itu. Selain itu China juga mengirim nelayan mereka untuk mengeksploitasi di sana. “Mereka selalu mengatakan mereka pintarnya tidak hanya mengatakan di peta ada 9 garis putus, tapi mereka hadir secara fisik, nelayan karena mereka akan mengambil Sumber Daya Alam. Yang dimasalahkan di SDA dan ikan. Mereka membuat itu dan mereka nelayannya sana untuk ambil ikan. Saya tidak tahu meminta nelayannya atau jangan-jangan ini nelayan-nelayanan tetapi sebenarnya orang yang dibayari oleh pemerintah China. Perlu di verifikasi itu,” katanya.
Sementara itu, Hikmahanto menilai pemerintah Indonesia masih mengarah pada orientasi bisnis. Nelayan tidak mau melaut ke China apabila modal lebih besar daripada keuntungan. “Kalau kita di Natuna itu orientasinya bisnis, kalau memang di sana mendapatkan ikan bagus terus kemudian dari segi coast lebih kecil dari keuntungan, ya mereka akan ada. Tapi kalau dari segi coast lebih besar dari keuntungan ya mereka mau hadir,”tutur Hikmanhanto.
Oleh karena itu, Hikmahanto berharap agar pemerintah memberikan kemudahan kepada nelayan yang ingin mencari ikan ke Natuna. Dengan memfasilitasi nelayan ke sana diharapkan bisa mendorong nelayan China untuk keluar dari ZEE itu. “Nah di sini nanti pemerintah Menteri KKP harus memberi insentif supaya hadir. Tapi kalau dari China dengan kekuatan finansial di perintah sekarang bahwa mereka membiayai nelayan yang mereka klaim,” pungkas dia.
Sumber : detik.com