Sejarah Gereja di Abad Pertama

0
24619

TNews, SEJARAH – Pada tahap awal, agama Yahudi yang paling besar mempengaruhi kehidupan gereja. Sebagaimana diketahui pada abad pertama Masehi bangsa hidup terserak di wilayah kekaisaran Romawi dan di luar wilayah tersebut. Yang tinggal di Palestina hanya sekitar 1 juta orang. Hubungan orang Yahudi dengan bangsa-bangsa lain waktu itu kurang harmonis. Ketaatan orang-orang Yahudi kepada Taurat menyebabkan mereka harus hidup terasing dari orang-orang di sekitarnya. Orang-orang Yahudi menganggap di luar agama mereka sebagai agama politheis. Walau demikian, banyak juga orang yang bukan Yahudi justru tertarik kepada agama Yahudi yang monotheistis. Mereka yang memeluk agama Yahudi tersebut disebut orang-orang proselit.

  1. Gereja Berada Dalam Pemerintahan Romawi

Wilayah kekaisaran Romawi mulai selat Gibraltar sampai sungai Frat, dan dari tanah Mesir sampai Inggris. Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan, yaitu bahasa Yunani yang pada zaman itu disebut bahasa Koine. Dalam wilayah agama Romawi yang luas itu terdapat sejumlah besar agama suku. Namun banyak orang tidak puas lagi dengan agama-agama yang lama dan mereka mencari jalan keselamatan dalam berbagai macam kepercayaan. Banyak juga yang memeluk agama Yahudi. Di Mesopotamia terdapat agama Babilonia dengan kepercayaannya kepada pengaruh takdir atas kehidupan manusia. Di daerah Iran terdapat agama Zoroaster yang oleh raja-raja Persia sesudah tahun 225 dijadikan agama Negara. Dari sudut kebudayaan yang paling menonjol adalah kebudayaan Hellenisme. Kebudayaan ini meneruskan kebudayaan Yunani dari zaman kejayaan kota Atena (abad 5 dan 3 sM). Selain itu ada upaya untuk mengawinkan agama Yahudi dengan Hellenisme, misalnya Philo dari Alexandria tahun 40.

Filsafat zaman Yunani-Romawi berusaha memberi pegangan baru kepada manusia. Salah satu filsafat Yunani yang berpengaruh adalah filsafat Platonisme. Aliran ini berasal dari Plato (375 SM). Pada abad III aliran ini mendapat bentuk yang baru dalam filsafat Platonis, yang diberi nama “Neo-Platonisme”. Ciri-ciri utama filsafat Platonisme adalah bahwa Allah berada jauh tak terhingga di atas dunia dan manusia. Tentang Dia tidak dapat diungkapkan dengan apapun: Ia tidak bergerak, tidak bertindak, tidak memperkenalkan diri, tidak mempunyai nama. Tetapi dari padaNya mengalir Nous (= roh, pemikiran). Selain itu juga mengalir Logos (= firman) yang menyatakan Nous Allah di dalam roh manusia dan dalam tata-tertib dunia ini. Nous dan Logos merupakan pengantara antara Allah dengan manusia serta dunia. Mereka bersifat ilahi, tetapi kadar “keilahiannya” tidak sampai kepada kesempurnaan mutlak. Jadi dalam filsafat ini hakikat Allah dipahami secara bertingkat.

  1. Abad Pertama Sejarah Gereja

Dalam perkembangan ajarannya, gereja akhirnya menyadari bahwa ketaatan kepada hukum Taurat tidak boleh lagi dianggap sebagai syarat mutlak untuk memperoleh keselamatan. Pemahaman itu menyebabkan gereja tidak lagi membatasi dirinya kepada orang-orang Yahudi. Gereja meluas dan masuk di tengah-tengah dunia orang bukan Yahudi. Jadi sebelum itu orang Kristen pertama terdiri orang-orang Yahudi, yang mana mereka tetap mengunjungi Bait Allah serta sinogoge, dan mereka mentaati hukum Taurat. Ketika gereja dapat berhasil berkembang ke dalam dunia orang kafir, gereja menghadapi persoalan teologis. Bagaimana dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi itu? Orang-orang Kristen mentaati hukum Taurat. Apakah orang-orang Kristen bukan Yahudi juga harus mentaati hukum Taurat? Dalam hal ini sikap Paulus sangat tegas, bahwa tidak perlu bagi orang-orang Kristen untuk mentaati hukum Taurat sebagai syarat untuk memperoleh keselamatan. Tetapi banyak orang Kristen-Yahudi yang tetap mempertahankan Taurat sebagai syarat keselamatan (Gal 2-3) sebagai syarat keselamatan. Kelompok ini disebut sebagai orang-orang Yudais.

Pada awal perkembangan gereja, salah satu pusat PI yang utama adalah Antiokhia. Di sini pertama kali muncul jemaat yang terdiri dari orang-orang kafir (Kis. 11:20). Jemaat ini dipakai Tuhan sebagai alat untuk membawa Injil ke daerah-daerah yang lebih jauh. Utusan jemaat Antiokhia yang terkenal adalah Paulus. Ia mengabarkan Injil di wilayah Asia Kecil (sekarang Turki) dan di Yunani (45-57). Pengaruh agama Kristen yang paling besar adalah Asia Kecil. Bila PI tidak mudah bergerak ke Timur. Sebab orang menghadapi rintangan berupa tapal batas antara kekaisaran Romawi dan kerajaan Persia. Kedua Negara ini saling berperang. Selain itu bahasa Yunani jarang dipakai di Timur, dan kebudayaan Hellenisme kurang berpengaruh di Timur.

Cara pengungkapan iman Kristen pada abad II menggunakan Didache (= pengajaran). Salah satu tulisan yang terkenal sesudah zaman para rasul adalah Didache yang ditulis di Siria (tahun 100). Kitab ini singkat seperti surat Yakobus. Isi kitab Didache adalah pembaca dihadapkan pilihan jalan kehidupan dan jalan maut. Juga berisi kebiasaan-kebiasaan berpuasa, berdoa, ibadah khususnya perayaan sakramen-sakramen, dan tata-gereja). Dalam kitab Didache, agama Yahudi dan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ditolak dengan keras, sedangkan corak pemikiran dan inti agama Yahudi tetap dipertahankan. Selain Didache terdapat pula surat-surat yang ditulis oleh Bapa-bapa gereja, seperti Ignatius (tahun 110). Ia menulis 7 surat kepada beberapa jemaat di Asia Kecil bagian Barat dan kepada jemaat di Roma. Juga terdapat surat dari Yustinus Martir (tahun 165). Dari ajarannya, Yustinus Martir sangat dipengaruhi oleh filsafat Stoa tentang konsep Logos, sehingga Yesus dipandang sebagai mediator Ilahi yaitu menjadi pengantara antara Allah dan dunia. Karena itu Kristus berada di bawah Allah. Selain itu terdapat tokoh bernama Bardaisan (tahun 154-222) yang dahulu seorang bangsawan dari Edessa. Ia sangat terpengaruh oleh astrologi (ilmu nujum) dari Babilonia kuno yang percaya bahwa bintang-bintang mempengaruhi kehidupan manusia. Setelah menjadi Kristen, Bardaisan merumuskan jawabannya dalam bukunya yang berjudul “Takdir”. Walau ia percaya pada pengaruh bintang, tetapi ia juga menekankan sikap manusia yang menentukan.

Pada zaman PB telah tersusun konsep Tata-Gereja. Di setiap jemaat terdapat penatua (presbuteroi). Dari antara mereka dipilih para penilik (episkopoi) yang dibantu oleh Diaken-Diaken (diakonoi). Di samping itu terdapat pula pengajar dan nabi. Mereka tidak dipilih tetapi dihormati karena memiliki karunia-karunia Roh yang dianugerahkan. Tampaknya golongan ini sangat berpengaruh. Semula dalam gereja awal tidak terdapat perbedaan tingkat, tetapi sekitar tahun 100 para “penilik” mulai menganggap para pelayan yang lain sebagai bawahannya. Karena itu kemudian ditetapkan suatu hirarkhi (urutan pangkat): penilik-penatua-diaken. Kemudian agar lebih praktis, pimpinan dilaksanakan oleh satu orang, maka mulailah lazim ada satu Penilik untuk seluruh jemaat. Kelak jabatan Penilik ini berubah menjadi Uskup. Sehingga Uskuplah yang berkuasa dalam jemaat bagai seorang raja dalam wilayah kerajaannya. Bila timbul masalah berat, para Uskup dari tiap-tiap jemaat tersebut berkumpul dalam rapat sinode.

Sinode pertama dari para Uskup diadakan tahun 180. Dalam sistem ini di mana Uskup-Uskup bersama-sama berkuasa dalam gereja disebut dengan “Episkopalisme”. Sistem pemerintahan gereja ini masih terdapat dalam gereja Orthodoks-Timur (di Rusia dan Eropa Tenggara) dan dalam Gereja Anglikan. Mula-mula gereja di Eropa Barat memakai sistem Episkopal, tetapi Uskup Roma yang disebut Paus mengklaim memiliki seluruh kekuasaan, sehingga ia memerintah atas Gereja Katolik Roma.

  1. Tantangan Gnostik dan Sikap Gereja

Kata “gnostik” berasal dari kata Yunani “gnosis” = pengetahuan. Mereka merasa memiliki pengetahuan baru dan jauh lebih tinggi dari iman Kristen. Mereka beranggapan bahwa dunia yang penuh penderitaan ini tidak mungkin berasal ciptaan Allah yang baik. Tubuh dipandang sebagai yang hina dan kotor. Karena itu Kristus datang ke dunia bukan untuk menebus tubuh manusia, tetapi jiwa manusia yang dahulu adalah suci. Karena itu pula Yesus dianggap hanya memiliki tubuh maya, bukan tubuh yang sesungguhnya. Yesus tidak mati sungguh-sungguh di kayu salib. Ia menebus manusia bukan dengan kematianNya, tetapi dengan pengajaranNya. Untuk selamat manusia harus melakukan askese dan mistik, yaitu usaha untuk membuka hubungan yang langsung dengan Allah dan jiwa yang bersifat ilahi itu. Orang-orang Gnostik ini menyusun beberapa “Injil” antara lain “Injil Thomas”. Di dalamnya terdapat kata-kata Yesus yang asli, tetapi kemudian kata-kata Yesus diolah sedemikian rupa untuk membenarkan ajaran/pandangan Gnostik. Tentunya bagi gereja, Gnostik merupakan tantangan yang sangat berat. Itu sebabnya dalam surat-surat rasul Paulus, bahkan Injil Yohanes kita dapat melihat pergulatan tersebut.

Untuk melawan ajaran Gnostik itu para bapa gereja mendirikan 3 strategi, yaitu membuat kanon Alkitab, Pengakuan Iman, dan Uskup. Dalam penyunanan Kanon (= ukuran, patokan) gereja sudah memiliki PL. Karena itu gereja tidak membuang PL untuk menyatakan kebenaran Allah. Injil dan surat-surat para rasul dinyatakan sebagai firman Allah. Untuk itu gereja harus membuat pilihan, kitab atau surat yang manakah benar-benar berasal dari murid Tuhan. Pada tahun 200 telah tersusun daftar PB sebagai kanon. Selain itu gereja juga membuat ringkasan pokok-pokok kepercayaan yang menjadi pegangan jemaat. Pengakuan iman yang tertua: “Yesus adalah Tuhan” (I Kor. 12:3). Kemudian pengakuan itu berkembang menjadi Pengakuan Iman Rasuli.

Soal Uskup menjadi penting peranannya karena ia dianggap berwenang mengartikan ajaran Alkitab. Sebab mereka dipandang sebagai pengganti para rasul. Uskup-uskup inilah yang kemudian meneruskan ajaran iman Kristen kepada jemaat. Hanya kemudian timbul persoalan: siapa yang berkuasa: Kanon Alkitab ataukah Uskup? Gereja Roma menganggap Uskup Roma yaitu Paus sebagai pengganti rasul Petrus sehingga Paus memiliki wewenang untuk menafsirkan Alkitab. Reformasi abad XVI memprotes anggapan tersebut. Reformasi menegaskan bahwa penahbisan para pejabat gereja tidak terlepas dari firman Allah. Pandangan gereja-gereja Reformatoris tersebut tidak diterima oleh gereja Katolik Roma, gereja Orthodoks Timur dan Anglikan yang berpegang pada pewarisan jabatan rasul-rasul selaku dasar kekuasaan jabatan.

Dengan ketiga “benteng” tersebut (kanon, pengakuan iman, uskup) dalam perkembangannya gereja merasa sudah “establish”, sehingga banyak orang Kristen tidak memiliki kerinduan akan kedatangan Tuhan Yesus seperti zaman para rasul. Karena itu muncullah gerakan Montanisme. Dalam ajaran Montanisme menekankan: harapan lama akan kedatangan Tuhan kembali, karunia-karunia Roh, disiplin gerejawi yang keras. Dalam hal ini Montanus (tahun 160) menyatakan bahwa di dalam dirinya sudah datang Roh Penolong yang dijanjikan oleh Yesus (Yoh. 14:6, 26). Dua wanita yang mendampinginya. Isi pernyataan mereka disampaikan dalam bahasa lidah, yang isinya bahwa akhir dunia sudah sampai. Karena itu jangan lagi kawin, tetapi berpuasalah dan tinggalkanlah dunia untuk berkumpul di Pepuza (sebuah desa di Asia Kecil) karena di sana Tuhan akan segera mendirikan Yerusalem yang baru. Orang berbondong-bondong datang sesudah menjual segala harta-bendanya. Mereka rajin mencatat pernyataan-pernyataan dari mulut pemimpin mereka dan menganggap setara dengan Alkitab. Tetapi ternyata pada hari yang ditentukan hari Tuhan tidak datang. Walau demikian, gerakan Montanisme tetap hidup dan tersebar ke berbagai propinsi. Gerakan ini bertahan sampai abab IV, lalu hilang. Tetapi di kemudian hari timbul kembali.

  1. Penganiayaan dan Penghormatan

Semula gereja dianiaya, dihambat dan secara sistematis berusaha dihancurkan sampai tahun 250. Saat itu Negara mengambil inisiatif untuk secara sistematis memusnahkan agama Kristen. Dalam hal ini kaisar Decius (250) dan kaisar Diocletianus (300) adalah para tokoh yang sangat membenci agama Kristen. Tetapi keadaan berubah sejak kaisar Konstantinus Agung (312-337) dengan mengeluarkan edit Milano (313). Sikap Konstantinus berubah ketika sebelum melakukan pertempuran untuk merebut takhta di Roma (312) ia melihat sinar terang dalam bentuk salib di langit, disertai perkataan: “dengan tanda ini engkau akan menang”. Sesudah berhasil merebut takhta, maka pada tahun 313 ia mengumumkan gereja memperoleh kebebasan penuh. Malahan semua milik gereja yang telah dirampas selama penghambatan harus dikembalikan. Pada waktu pengumuman edik Milano tersebut, Konstantinus belum menjadi Kristen. Dalam perkembangannya gereja mulai dianakemaskan. Negara memberi banyak uang untuk mendirikan gedung-gedung gereja yang baru. Selain itu Negara juga memaksa semua anggota sekte Kristen untuk masuk menjadi anggota gereja. Pada tahun 380 kaisar Theodosius mengeluarkan peraturan bahwa segenap rakyat harus menganut agama Kristen, yaitu agama Kristen Orthodoks. Walau di sisi lain para kaisar mendukung gereja, tetapi pada sisi lain mereka juga ingin memperoleh pengaruh dari gereja. Mereka berusaha agar para Uskup yang dipilih adalah mereka yang memihak kepada pemerintah. Gereja harus mengutuk musuh-musuh kaisar. Apabila terjadi persoalan dalam gereja, kaisar ikut campur dan dapat membuang tokoh-tokoh yang tidak disukai. Dengan keadaan itu gereja menjadi kaya raya dan jumlah orang Kristen menjadi melonjak drastis. Keadaan itu tidak membuat banyak orang Kristen puas, karena itu mereka memilih pergi hidup menyendiri untuk beraskese. Mereka prihatin karena banyak orang Kristen mengabaikan hidup penyangkalan diri sebagaimana yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Karena itu lahirlah biara dalam kehidupan gereja.

 

Sumber : gki.or.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.