Industri Baja RI Babak Belur Dihantam Produk China

0
97

TNews, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menterinya untuk menyelamatkan industri besi dan baja nasional. Selama ini industri tersebut sudah babak belur menghadapi masuknya produk besi dan baja dari luar negeri.

Menurut data yang dipegang Jokowi, impor baja sudah masuk dalam peringkat 3 besar produk impor yang masuk ke Indonesia. Itu artinya impor besi dan baja turut membebani neraca perdagangan Indonesia. Selain juga menghantam produksi nasional. “Ini tentu saja menjadi salah satu sumber utama defisit neraca perdagangan kita, defisit transaksi berjalan kita. Apalagi baja impor tersebut kita sudah bisa produksi dalam negeri. Oleh sebab itu utilitas pabrik baja dalam negeri sangat rendah dan industri baja dalam negeri menjadi terganggu,” ujarnya di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Jokowi menekankan bahwa kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan. Dia meminta para menteri melakukan upaya untuk mendorong industri besi dan baja nasional agar semakin kompetitif dan meningkatkan kapasitas produksinya dengan melakukan pembaharuan teknologi permesinan terutama untuk BUMN. Jokowi juga meminta agar dikalkulasikan dampak dari impor baja dan besi terhadap kualitas maupun persaingan harga dengan produk dalam negeri. Sebab dia yakin produk besi dan baja yang impor kualitasnya lebih rendah. Untuk itu dia meminta industri dalam negeri memanfaatkan kebijakan non tarif dan mengikuti penerapan SNI. Menurut Jokowi jika penerapan SNI dilakukan sungguh-sungguh akan menghambat masuknya impor besi dan baja.

“Penerapan SNI dengan sungguh-sungguh, sehingga industri baja dalam negeri dan konsumen dapat dilindungi. Dengan justru pemberian SNI yang dilakukan secara serampangan hingga tidak dapat membendung impor baja yang berkualitas rendah,” ujarnya. Namun, lanjut Jokowi, itu saja tidak cukup. Perlu dilakukan perbaikan terkait penyediaan bahan baku untuk menunjang kebutuhan industri besi dan baja dalam negeri.

Lantas apa yang menjadi biang keroknya?

Jokowi kemarin sudah mengumpulkan para menterinya untuk membahas permasalahan tersebut dalam rapat terbatas. Hasilnya, ada beberapa hal yang diputuskan untuk menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. “Jadi tadi, sudah diputuskan yang pertama prinsipnya adalah bagaimana kita pemerintah hadir dalam rangka membina dan membantu industri baja nasional. Baik itu industri baja yang dimiliki oleh pemerintah (BUMN) atau industri baja lainnya yang dimiliki oleh swasta,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Salah satunya berkaitan dengan impor bahan baku untuk kebutuhan hilirisasi industri baja yang disebutnya semakin lama semakin meningkat. “Tentu ini merupakan satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tentu, yang harus kita selesaikan bagaimana kita meningkatkan utilisasi. Sekali lagi, utilisasi dari pabrik-pabrik dan industri baja nasional. Agar bisa menutup atau mensuplai kebutuhan bahan baku dari industri hilir baja,” ujarnya.

Agus mengatakan, selama ini utilisasi pabrik besi dan baja nasional hanya sekitar 50%. Menurutnya hal itu lantaran perusahaan besi dan baja nasional tak bisa bersaing dengan produk impor dari sisi harga. Beberapa juga sulit bersaing lantaran kualitasnya.

Pemerintah pun akan mendorong industri besi dan baja nasional baik BUMN maupun swasta untuk meningkatkan teknologinya. Sebab sebenarnya ada potensi dari pasir besi yang cadangannya cukup besar bahkan di pulau jawa sekalipun. Sayangnya belum ada pabrik besi dan baja nasional yang bisa mengolah itu. “Jadi perlu adanya political will dari para industri untuk benahi hal-hal yang berkaitan dengan teknologi. Kemudian juga, bagaimana caranya kita men-tackle impor-impor yang membanjiri Indonesia padahal utilisasi dari pabrikan baja di Indonesia masih relatif rendah,” ujarnya.

Impor produk besi dan baja sudah menjadi peringkat kedua dari produk impor terbesar yang masuk ke Indonesia setelah produk mesin dan perlengkapan elektrik. Total nilai impor besi dan baja sepanjang 2019 menurut data BPS mencapai US$ 10,39 miliar. Untuk mengatasi itu, pemerintah akan mendorong kebijakan yang berkaitan dengan BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) dan penerapan SNI yang dilakukan dengan benar.

Menurut catatan Agus, sebenarnya industri baja nasional itu bisa menyuplai sampai ke 70% dari kebutuhan dalam negeri. Namun selama ini hanya mampu memasok sekitar 40%. “Artinya kalau kita bisa meningkatkan utilisasi dan kemudian industri hilir bisa serap industri dalam negeri maka itu akan kurangi ketergantungan kita impor bahan baku atau hilirisasi baja tadi,” tutupnya.

Pemerintah pun sepakat beri relaksasi impor besi bekas untuk dorong produksi pabrik besi. Pemerintah sepakat untuk memberikan relaksasi untuk impor scrap atau besi tua dan bekas. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk membuat billet atau bahan baku baja setengah jadi yang berbentuk balok. Hal itu menjadi salah satu kesepakatan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) siang tadi yang membahas ketersediaan bahan baku bagi industri besi dan baja.

“Terakhir juga diputuskan untuk scrap logam, agar juga dibuat relaksasinya untuk impor. Karena apa, karena kita bisa lihat bahwa kebutuhan scrap logam dalam negeri untuk mendukung hilirisasi dan mendukung produksi dari billet,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang. Agus menjelaskan, produksi billet dalam negeri saat ini mencapai 4 juta ton per tahun. Menurutnya jika produksi billet terganggu akan memberikan dampak terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia “Kenapa sektor baja itu masih memberikan kontribusi terhadap defisit neraca dagang, kita lihat berkaitan billet ya. Impor billet itu naik. Impor billet naik karena apa, karena memang billet yang ada di scrap, billet yang diproses di dalam negeri belum memiliki bahan baku yang cukup. Yang saya sebut scrap logam tadi,” terangnya.

Billet sendiri merupakan bahan baku untuk membuat produk besi dana baja. Jika impor scrap yang menjadi bahan baku billet terganggu maka industri besi dan baja mengisinya dengan impor. Sementara menurut Agus, harga billet impor jauh lebih mahal dari billet yang diproduksi dalam negeri. Selisihnya bisa mencapai sekitar US$ 100 per ton. “Jadi kalau kebutuhan sisa impor scrap logam 4 juta ton per tahun, maka kalau tidak diproduksi dalam negeri maka akan ada defisit (hanya dari billet) sebesar US$ 400 juta per tahun. Artinya ada opportunity loss bagi industri dalam negeri sebesar US$ 400 juta per tahun,” terangnya.

“Maka, aturan-aturan relaksasi untuk industri dalam negeri bisa mengimpor scrap logam sudah dibahas dan sudah diputuskan dalam ratas,” tambahnya. Relaksasi impor besi bekas untuk produksi billet ini juga bertujuan untuk meningkatkan utilitas pabrik besi dan baja tanah air. Sebab menurut data Agus utilisasi pabrik besi dan baja RI baik BUMN maupun swasta rata-rata sekitar 50%.

 

Sumber : detik.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.