TNews, KOTAMOBAGU – Langkah demi langkah dikayuh seiring suara napas yang mulai terdengar, bulir-bulir keringat mengembun di wajah Erwin Makalunsenge, dia tampak lelah. Bersama lima sejawat, dia berziarah ke makam Punu’ Tadohe.
Punu’ Tadohe adalah anak Mokodompit, dan ayah dari Raja Loloda’ Mokoagow, Raja Kerajaan Suku Mongondow, memerintah pada fase Kepunu’an, tahun 1600-1650 Masehi, saat Portugis dan Spayol mulai melakukan ekspansi. Makamnya yang terletak di bukit Kansil Perkebunan Upai, Kecamatan Kotamobagu Utara, cukup susah diakses. Membuat peziarah yang didominasi perempuan ini mendadak hening, setelah sebelumnya begitu ramai dengan candaan. Medan yang keras mulai menenggelamkan suara mereka.
Dari pusat Kotamobagu butuh sekitar 10 menit waktu tempuh menggunakan mobil, setelah itu, peziarah milenial ini masih harus berjalan kaki, menanjak kurang lebih 100 meter dengan kemiringan 65 derajat. Keluh perlahan terlempar dari mulut Wulan Mamonto. Didaulat sebagai ketua tim tidak resmi, Erwin yang sudah berkali-kali ziarah berusaha meyakinkan kengkawannya, bahwa makam sudah dekat.
Erwin memandu jalan menyusuri perkebunan cokelat, dan kemiri. Di barisan paling belakang, Iwan Mandjahia, berusaha memproteksi tiga perempuan peziarah lainnya, Mira Manangin, Neno Karlina, dan Anu’. Setelah berusaha memastikan, Erwin melambaikan tangan memberi kode, bahwa mereka akhirnya sampai juga di makam. Semuanya mendadak antusias mempercepat langkah.
Dari atas bukit, bisa terlihat makam berwarna kecokelatan, kontras dengan tanah berhadapan bukit Bakid. Konon, menjadi tempat pertemuan petinggi Suku Mongondow tempo dulu. Selain itu, di bukit ini juga banyak ditemukan peninggalan sejarah, seperti Gong, Kolintang, Belati bergagang emas, baju zirah, dan gubang (koin).
Sayang, sepertinya bukit dan makam ini abai dari perhatian, memantik protes dari Anu yang sejak perjalanan diam saja. Sebagai satu-satunya perempuan tak berhijab di kelompok ini, Anu memang pendiam dan lebih tenang.
Anu tampak paling syok, mendapati banyaknya coretan dari batu dan paku di dinding makam. Tulisan seperti Raja Tadohe, Anthonio juga gambar-gambar tak jelas lainnya, membuat peziarah ini geram. “Mereka harus tahu, bahwa sebelum kerajaan, ada fase kepunu’an, dan datue’. Selain itu Punu’ Tadohe lahir di Sangir dan beragama islam, tidak seharusnya, diberi tanda yang merusak dan mengaburkan,” kata Anu’, Jumat, (07/02/2020). “Vandalisme ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Anu.
“Benar, pemerintah harus tahu, apalagi sebenarnya makam ini sudah terinventalisir untuk dijadikan objek wisata,” timpal Mira.
Seperti bersepakat, kengkawan ini memutuskan untuk mengkomunikasikan kepada pemerintah, agar segera mendapat tindak lanjut. Makam ini adalah bukti otentik berdirinya kerajaan Mongondow yang harusnya dijaga.
Tetiba, dari sebelah kiri makam, Iwan justru mempertanyakan hal lain. Sebuah batu nisan yang sudah dipagari berbagai pohon.
Menurut Erwin, itu adalah makam istri Punu’ Tadohe. Makam yang tidak tersentuh dan nyaris tidak pernah diketahui. Selain batu dan pohon-pohon, tak ada apa-apa lagi yang menunjukan atau membuktikan bahwa itu adalah memang makam istri Tadohe.
Kengkawan ini tidak tahu pasti, siapa yang terkubur di samping makam Punu’ Tadohe itu. Namun mereka menyakini, meski abai dari perhatian, di keheningan bukit Kansil, Tadohe tidak sendiri, ada lambang cinta sepasang kekasih yang tidak menuntut disejarahkan dalam buku-buku di rak perspustakaan daerah.
Mendapati ini, mereka semua larut dalam pemikiran masing-masing. Ada perasaan campur aduk di hati, sepenggal cinta yang misterius, dan sejarah yang kabur dari pengetahuan anak cucunya. Pada akhirnya, ziarah ini tak sekadar tabur bunga, melainkan ada sesuatu yang lebih besar yang seolah harus dilakukan. Mereka berpandangan sampai akhirnya memutuskan pulang, hari memang mulai gelap.
Neno Karlina