TNews, Kotamobagu – Hujan turun tipis-tipis, sekumpulan anak Sekolah Dasar (SD), masih lengkap dengan seragam putih merah melintas tidak jauh dari komplek gilingan, tempat rumah Rusdian Mokodompit (41) berdiri. Rusdian sendiri baru setahun mendiami rumahnya, meski demikian lingkungan ini sebenarnya tidaklah begitu asing. Hampir seluruh masa kecil Rusdian habis di sini, di Keluruhan Motoboi Besar, Kecamatan Kotamobagu Timur.
Menurut Rusdian, tidak banyak yang berubah. Cerita-cerita tentang kejadian mistis di Batu Takode, masih kental mendengungi telinga masyarakat. Batu yang dipantang untuk anak-anak ini, terletak hampir bersejajar tidak jauh dari rumah Rusdian. Wajar istri Rusdian yang asli Manado pun tahu persis sekelumit cerita mistis di batu ini.
Dulu saat kecil, Rusdian sendiri sudah dilarang orangtua bermain di sekitar batu, larangan itu pula membuat Rusdian, yang kini turut dibantu oleh isterinya, memperingatkan sekelompok anak SD yang baru melintas sepulang sekolah tadi.
Konon, bongkahan batu besar berdiameter 3,5 meter itu, merupakan salah satu dari empat bongkahan batu yang tersebar tidak berjauhan, di Motoboi Besar. Batu ini diyakini sebagai material yang dimuntahkan dari perut Gunung Ambang, yang meletus 700-an tahun lalu, dan dilegendakan menjadi salah satu tempat pemberhentian, putri Sila Gondo saat hendak mencari keturunannya.
Benar atau tidak, Bagi Rusdian dan hampir semua masyarakat Motoboi Besar, batu ini terlanjur dipercaya mengandung mistis tinggi. Hal ini menyusul beberapa kejadian tidak masuk akal. Teman Rusdian sempat kehilangan suara setelah tidak mengindahkan larangan tersebut.
Suatu ketika, karena penasaran Rusdian nekat pergi ke batu. Temannya yang ikut, tertawa dan berteriak tiba-tiba langsung kehilangan suara. Sejak itu, Rusdian semakin mempercayai kebenaran cerita yang dia dengar berulang-ulang sejak lama itu, dan akhirnya memutuskan tidak lagi bermain di sekitar batu.
Sebenarnya, cerita tentang teman Rusdian, hanyalah satu dari banyak cerita aneh yang telah terjadi turun temurun. Belum lagi, santer terdengar penampakan nenek rambut putih panjang yang memegang sapu lidi, sering terlihat di sana.
Memang, di kampung ini juga terdapat “Lipu’ Koyongan” atau kampung tua yang menjadi cikal bakal; peredaran permukiman suku Mongondow lampau. Bahkan kampung ini sendiri pun, pernah mengalami 5 kali perpidahan, yaitu Tudu’ Alad, berpindah ke Libok, berpindah lagi ke Tontolu’ong, kemudian ke Modandi, dan akhirnya ke Pakoba.
Tak hanya itu, seiring perkembangannya, di sekitar Lipu’ Koyongan juga pernah dijadikan tempat pertahanan Jepang. Banyak keturunan pemimpin Suku Mongondow yang ada di sini, Loloda Mokoagow misalnya. Ini dibuktikan dengan makam Abo Tohe dan keluarganya yang masih terawat.
“Ya wajar saja, di sini memang banyak keturuanan pelaku sejarah, sayangnya saat masa permesta banyak terjadi pengkaburan sejarah, termasuk pembumihangusan bukti sejarah. Secara emosional ini erat kaitannya dengan mistis yang masih kami percayai. Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan leluhur,” kata Rusdian, Rabu, (04/03/2019).
Rusdian percaya, dengan tetap menghormati adat budaya, semua masyarakatnya akan baik-baik saja. Ini juga yang melatarbelakangi kenapa akhirnya dia memutuskan tinggal di rumah ini, di saat semua orang berusaha menjauh dari batu Takode.
“Karena ini sudah turun temurun, maka kami percaya. Sejauh ini saya dan istri juga baik-baik saja. Yang penting tidak mengganggu dan sama seperti saya dulu, tetap memperingatkan agar anak-anak tidak berbuat gaduh di sana, toh anak-anak di sekitar sini juga sudah tahu dari orangtua mereka masing-masing, sehingga sangat jarang ada anak-anak yang bermain di sana,” jelas Rusdian.
Seperti telah diberi maklumat, anak-anak kampang ini hampir tidak ada yang tidak tahu perihal batu Takode, sama seperti, Arfa Mamonto, (11) siswa kelas enam SD Negeri 3 Motoboi Besar, dengan sedikit bergemetar mengatakan tidak berani melintasi Batu Takode, apalagi saat sendirian. Oleh kedua orangtuanya memang dilarang keras. Namun karena komplek gilingan ini adalah jalur alternatif agar lebih dekat menuju rumah, sehingga Afra dan beberapa temannya sering melewati tempat ini.
“Kami semua dilarang. Cuma karena lebih dekat lewat sini, kami nekat. Takut juga, asal tidak ribut dan tidak melintas tepat di batu, atau paling sering kami memilih lari sekencang mungkin, agar segera melewati dan berlalu dari tempat ini,” ujarnya sambil tertawa.
Di tempat lain, Hasman Bahansubu, pemerhati budaya, larut dalam penjelasan panjang soal sejarah peradaban suku Mongondow, runutannya menjangkau 4 bongkahan batu, yang diberinama Ande-ande, Modandi, Kayubulan, dan Takode yang kini oleh masyarakat dianggap mistis.
“Di Batu-batu itu sebenarnya ada pahatan tulisan aksara, sayang sepertinya itu mulai hilang. Terutama di batu Ande-ande. Kalau Takode, ini lekat dengan sejarah saat Bua’ Sila Gondo dan Yayu Bangkai mencari keturunan. Di sinilah Bua’ Sila Gondo berdiri dan mendendangkan senandung Mongondow, atau yang dikenal dengan Odenon. Di atas batu ini juga, Sila Gondo membuat peta rangkaian perjalanan yang telah dia lakukan dari utara, termasuk rangkaian 5 perpindahan Motoboi Besar. Bisa dikatakan, peta Motoboi Besar dibuat berdasarkan peta di batu Takode,” jelasnya kepada sejumlah pemuda yang serius mendengarkan.
Soal kebenaran kisah mistis di Batu Takode, lelaki paru baya ini tidak berani membenarkan. Sebab, hal seperti itu dianggapnya susah dibuktikan. Hanya saja, bahwa batu Takode lekat dengan sejarah Motoboi Besar bahkan Mongondow secara umum, tak diragukan lagi.
Semua penjelasannya tentang batu Takode bisa diterima oleh akal, hingga ‘menghangat’ bersamaan dengan bara semangat kelompok pemuda, yang juga menemui Rusdian siang tadi.
Kini waktu mereka terasa hanyut dalam semangat sehingga tetap takzim mendengarkan penjelasan di antara guyuran hujan yang menghujam atap Komalig di kegelapan malam Kotamobagu.
Neno Karlina