TNews, KOTAMOBAGU – Sebuah sistem berbasis online, dirancang khusus oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Kotamobagu, untuk mendeteksi keberadaan anak-anak putus sekolah. Aplikasi ini diberi-nama Sistem Penanganan Anak Tidak Sekolah (Sipantas).
Sipantas direncanakan akan dilauncing pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Agustus mendatang. Saat ini sedang dimatangkan untuk diikutsertakan dalam lomba Innovative Government Award (IGA).
Dalam pemanfaatannya, Sipantas akan difokuskan mendeteksi masuk lebih dalam ke kehidupan anak-anak usia sekolah (18 tahun ke bawah) di Kotamobagu, untuk mendata, menverifikasi, dan mencari sebab-sebab, kenapa anak bisa putus sekolah.
Untuk pengerjaan dan operasional aplikasi ini bersumber dari Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah (APBD), dan berkolaborasi dengan instansi terkait. Secara teknis, pengolaan server dan lainnya akan dikendalikan oleh Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kotamobagu.
Relawan Data
Dalam menjalankan program Sipantas, Disdik mengelaborasikan keterlibatan semua masyarakat Kotamobagu, terutama yang ada di lingkungan sekolah untuk menjadi relawan data. Hal ini sebagaimana yang dikatakan, Sekertaris Disdik Kotamobagu, Rastono Sumardi kepada TNews, Kamis, (12/03/2020) di ruang kerjanya.
Menurutnya, Sipantas adalah salah satu bentuk fleksibelitas pemerintah dalam mengikuti perkembangan digital, dari segi pemanfaatan.
“Ini juga untuk memudahkan pemerintah bekerja. Masyarakat bisa melaporkan keberadaan anak-anak wajib sekolah yang ada di sekeliling,” katanya.
Selain itu, akan ada perekrutan relawan data, secara otomatis di aplikasi. Sehingga jika ada masyarakat, siapa saja, yang ingin ikut terlibat menjadi relawan, bisa turut berpartisipasi.
“Pendataan ini berbasis online, bisa bersumber dari para relawan. Dari laporan ini kemudian, Disdik akan melakukan upaya pendampingan, agar anak ini bisa ditindaklanjuti, dalam hal mendapatkan pendidikan, baik formal pun informal,” ujarnya.
Data-data ini, lanjutnya, nanti akan juga diteruskan ke dinas-dinas lain, untuk disingkronkan dengan program pemerintah lainnya, agar bisa jadi prioritas jika memang terkendala dana, misalnya.
“Kita verifikasi lagi, apa yang yang menjadi penyebab. Kalau memang karena faktor ekonomi, akan kita dorong untuk diaktifkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), PKH, Anak Asuh, atau program lain, yang kemudian bisa membantu. Ini untuk anak layak sekolah, jika tidak, kita bisa usulkan dalam program paket A, B, C untuk kemudian tetap mendapatkan pendidikan informal. Lagi pula, program ini resmi, setara, dan ijazahnya juga bisa digunakan untuk kehidupan lebih baik,” jelasnya.
Dirinya berharap, dengan program ini, angka kemiskinan dan buta huruf di Kotamobagu bisa diatasi. Sehingga, bisa membawa Kotamobagu menjadi kota yang lebih baik lagi.
“Tentu semua orang menginginkan yang terbaik. Tidak ada yang ingin buta huruf, ini yang harus didukung agar bisa membangun sumber daya manusia yang lebih baik,” tandasnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Kohati HMI Bolmong, Miranty Manangin, mengapresiasi bagian ini sebagai misi kemanusian dan upaya mendorong penerapan keterbukaan informasi publik juga pengikutsertaan dalam perkembangan dunia digital.
“Saya dan teman-teman akan bergabung menjadi relawan data, jika memang diperlukan. Bukankah ini baik, untuk mendorong turut mewujudkan Kotamobagu menuju Smart City. Terlepas juga dari misi pemberantasan buta huruf,” ujarnya.
Senada, salah satu wartawan yang bertugas di wilayah Kotamobagu, Erwin Makalunsenge, mengatakan juga ingin turut menjadi relawan data pendidikan.
“Ini tidak memberatkan. Anggap saja kta turut membantu anak-anak sekitar yang membutuhkan pendidikan tapi terkendala. Ini sangat positif dan sebenarnya wajib didukung,” singkatnya.
Kondisi Pendidikan Kotamobagu di Sulut
Setiap tahunnya, di Kotamobagu masih berlangsung program Paket yang setara dengan tingkat pendidikan. Paket A setara Sekolah Dasar, (SD), Paket B setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Paket C setara Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk tahun 2020, ada sekitar 200-an peserta paket C yang mengikuti simulasi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), 100-an ujian Peket B, dan puluhan yang mengukiti Paket A. Program ini adalah salah satu program pengentasan buta huruf.
“Positifnya adalah, ini bisa mengindikasi kebutuhan pendidikan. Dan ada kemauan untuk maju memperbaiki diri, dengan upaya pemenuhan pendidikan,” ucap pendamping Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Aruman Jaya, Sukmawati Lahiya, saat mengawas simulasi UNBK paket C.
Meski demikian, Nara sumber Instruktur perwakilan Disdis Provinsi Sulawesi Utara, (Sulut), Deisy Sampul S.Kom Msi mengatakan, saat ini Kotamobagu menempati 5 besar dalam perbaikan peningkatan pendidikan di Sulut.
Dari 15 Kabupaten Kota, Kotamobagu tergolong baik dalam penanganan kebutuhan pendidikan. Ini terlihat dari jumlah putus sekolah, dan perkembangan sumber daya manusia.
“Urutan pertama adalah Kota Bitung. Yang pasti Kotamobagu masuk 5 besar, yang artinya masih lebih baik tinimbang daerah yang lain. Ini yang harus di dorong, agar setiap kota mengupayakan hal yang sama. Sebab, setiap anak memang wajib mendapatkan hak yang sama termasuk pendidikan,” ujarnya.
Senada, Dr-Ing. Drs Parabelem T.D Rompas, M.T, Dosen Universitas Negeri Manado mengatakan, pemenuhan kebutuhan pendidikan yang baik di Kotamobagu dapat terlihat dari antusiasme belajar para peserta pelatihan pendidikan belajar kursus LKP yang dimentorinya.
“Peningkatan ini bisa terlihat dari kemauan peserta sebagai representasi penduduk di Kotamobagu untuk mengimplementasikan apa yang mereka dapat di pelatihan. Padahal ini sebenarnya terlepas dari konteks pemebelajan formal, tetapi penggambaran sumber daya manusianya bia diketahui dengan baik,” jelasnya.
Kehadiran berbagai program dari pemerintah Kotamobagu, baik manual pun online perlu dipandang sebagai usaha untuk peningkatan kapasitas. Baik untuk menjadi contoh bagi daerah lain untuk juga sama-sama membangun generasi yang baik.
“Salah satu cara membangun SDM adalah lewat pendidikan, jika pendidikan terpenuhi maka segala sektor bisa dikendalikan dan tidak ada lagi keterbelakangan dan ketidaksetaraan dalam kehidupa bersosial,” pungkasnya.
Neno Karlina