Cerita Satu Keluarga yang Pilih Tinggal di Kebun Karena Takut Virus Corona

0
1778
ilusstrasi

TNews, KOTAMOBAGU – Hujan teramat deras, angin menyerbu dari segala sudut tak putus bersahutan. Tak ayal membuat atap sulam daun rumbia yang bertumpu sebatang bambu kering, dan diperkuat lilitan tali rafia berwarna darah, berkibar serupa bendera.

Barangkali hujan sedang mewakilkan tangisan bumi. Dengan mata yang ikut kuyup, Devi Paputungan (34), memeluk erat bayi merahnya, mendekap satukan denyut jantung mereka berdua, berharap bisa tetap memberi hangat, memastikan kulit bayinya tak tersentuh oleh dingin yang kompak dibawa angin dan hujan.

Sungguh, Devi tahu. Bertaruh di tengah cuaca ekstrim tidaklah cocok bagi Gie, bayi 2 bulan yang kini harus menghabiskan hari-hari di dalam gubuk bambu berukuran 3×4 meter, di perkebunan Tiyobong. Meski demikian, Devi yakin tak ada inkubator dan tempat terbaik bagi Gie, selain tetap ada dalam pelukannya.

Sejak pengunguman kasus positif Corona di Kotamobagu, bersama suami dan anak-anaknya, Devi memutuskan pindah. Menjauh dari hiruk pikuk keramain di kampungnya, Desa Poyowa Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan. Tindakan ini diambil, dengan pertimbangan agar bisa menjalankan ibadah puasa tanpa bayang-bayang corona, apalagi hampir semua saudara Devi yang tersebar di kampung tetangga (Keluruahan Motoboi Kecil), mengambil langkah yang sama.

“Kakak dan ipar juga sekarang memuilih tinggal di kebun. Biar lebih aman dan tenang saja. Kalau di rumah (Kampung), kita tidak bisa menahan orang yang berdatangan. Terus, ada rasa tidak enak jika mengusir,” kata Devi saat disambangi Totabuan.News, Senin, (27/04/2020).

Tak dipungkiri, di awal hari semua memang terasa berat. Ia berusaha memaklumi betapa sulit bagi anak-anaknya. Jika Gie hanya merengek, lain hal dengan dua anak gadisnya, Nisya dan Nifa. Generasi milenial ini tidak terbiasa hidup berkompromi dengan cara taat dan selibat pada ketentuan alam. Terbiasa konsumtif dan serba ada, telah menjadi aral melintang untuk mereka lalui. Tak jarang mereka menangis, terutama si sulung Nisya, walau tak berani protes secara langsung.

Saat malam hari, sorot lampu nun jauh di perkampungan terlihat kecil seperti kunang-kunang. Membuat beku keadaan. Devi yang bisa leluasa meraba mata anak-anak gadisnya tahu mereka sedang menangisi keadaan.

Selain menguatkan dan memecah gelap, Devi akan melafalkan ayat-ayat Al-quran, atau bercerita hal lucu. Kendati tak ada anak-anaknya yang benar-benar terhibur.

“Ya namanya anak-anak. Terbiasa ada listrik, ada internet, makanan instan, dan sekarang harus beradaptasi dengan keadaan yang sebelumnya tak pernah mereka rasakan. Wajar jika mereka merasa tersiksa. Tapi, semua lebih baik daripada hidup cemas dalam ketakutan. Ini adalah cara agar tidak gampang terinfeksi, lama-lama mereka akan terbiasa,” ujar Devi.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, suami Devi, Denny yang akan ke kampung atau ke pasar. Tak jarang mereka juga memanfaatkan apa yang ada di kebun untuk dikonsumsi.

“Cuma sebagian saja (kebutuhan) yang harus beli di pasar. Di sini ada kolam ikan air tawar, ada sayur-mayur, ada umbi-umbian, jadi sebenarnya sangat aman. Lagipula, suami ke pasar atau ke kampung hanya karna keadaan masih bisa. Sekiranya pun memburuk, kami bisa bertahan hidup mengandalkan apa yang ada di kebun. Sekarang juga kami bercocok tanam. Apa yang bisa ditanam, kami tanam,” jelasnya.

Dengan penuh harap, Devi menguatkan hati, ia yakin dengan tinggal di kebun, keluarganya bisa menjalankan ibadah puasa dengan aman, terhindar dari covid-19, serta jauh lebih sehat.

“Saya selalu teringat pesan kakek, bahwa tinggal di kebun akan menjadikan tubuh kita kuat dan sehat. Ini yang coba saya ajarkan ke anak-anak. Semoga wabah ini segera berakhir, dan masyarakat tidak lagi menentang pemerintah, berkumpul dan mempercepat rantai penularan covid ini, Allah senantiasa menjaga kita semua,” pungkasnya.

Di tempat terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, (BPBD) Nasly Paputungan, yang juga Tim Satuan Gugus Tugas Covid-19 Kotamobagu, merespon positif. Menjauh dari keramaian dianggap adalah salah satu cara baik untuk memutus mata rantai penyebaran.

“Ini sangat baik. Jika kesadaran seperti ini diterapkan. Tapi buka berarti panik, tidak. Ini hanya berpikir untu bagaimana bertanggungjawab terhadap diri dan keluarga sendiri,” ucapnya.

Baginya, asal masyarakat bisa hidup bersih. Tidak ada masalah jika ingin tetap tinggal di kebun.

“Ini justru lebih aman. Semoga semua orang diberi ketabahan dan kekuatan untuk tetap menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi ini,” tutupnya.

 

Neno Karlina

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.