TNews, WISATA RELIGI – Sultan Ahmed Camii atau lebih dikenal sebagai Masjid Biru merupakan salah satu bangunan termegah di Turki. Masjid ini merupakan salah satu peninggalan zaman kejayaan Dinasti Ottoman yang masih berfungsi hingga saat ini.
Simbol Kejayaan Ottoman yang Memudar
Setelah penandatanganan Perjanjian Zsitvatorok antara Kekaisaran Ottoman dan Kerajaan Habsburg, Sultan Ahmed I memimpin kerajaan yang telah melalui zaman keemasannya. Dalam kurun waktu lima belas tahun sejak tahun 1603, kerajaan mengalami kekalahan besar dalam perang melawan Persia. Sultan Ahmed I memutuskan untuk membangun sebuah masjid megah untuk mengembalikan nama besar Ottoman.
Dibangunlah Sultan Ahmed Camii, masjid pertama Kekaisaran Ottoman. Sebelumnya Hagia Sophia atau Ayasofya yang dianggap sebagai masjid resmi kerajaan. Namun masjid itu adalah bangunan peninggalan Kekaisaran Byzantium.
Pembangunan masjid mengundang kemarahan kaum ulama karena dananya dikumpulkan dengan meloroti kas negara. Sementara sultan-sultan sebelumnya membiayai pembangunan masjid dari harta pampasan perang. Apa mau dikata, Ahmed I memang tak berhasil mengumpulkan banyak kekayaan dari perang. Selain itu jumlah menaranya dianggap hendak menyamai Ka’bah di Makkah.
Kembaran Hagia Sophia dengan Perpaduan Arsitektur Islam dan Kristen
Masjid Biru dibangun sejak tahun 1609 sampai 1616. Arsiteknya adalah Sedefkar Mehmed Aga. Mehmed Aga menjadikan Ayasofya sebagai cetak biru masjid. Dia memadukan elemen arsitektur Kristen era Byzantium dan Islam. Ide dari gurunya, Mimar Sinan juga dimasukkan untuk mewujudkan visi mengenai sebuah masjid yang megah. Karena itulah, Sultan Ahmed Camii dianggap sebagai masjid agung terakhir dari zaman klasik.
Majid dibangun di atas tanah yang dulunya adalah tempat berdirinya istana kerajaan Byzantium, berhadapan dengan Ayasofya. Memiliki enam kubah, enam menara, dan delapan kubah sekunder.
Dinding bagian dalam dilapisi dengan 20.000 ubin keramik dari Iznik. Langit-langitnya didominasi warna biru. Dari sinilah julukan Masjid Biru berasal. Ubin di lantai kedua memiliki pola rumit buah-buahan, bebungaan, dan cemara. Sementara lantai dasar dihiasi ubin dengan pola sederhana. Perbedaan ini disebabkan karena dana pembangunan yang terus disusut. Sehingga kualitas ubin yang digunakan pun semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Mihrab terbuat dari marmer yang dipahat dengan hati-hati. Sementara lampu berlapis emas, bola-bola kristal, dan telur burung unta menghiasi langit-langit. Sayangnya dekorasi ruangan ini sekarang sudah diamankan di museum.
Terbuka untuk Pengunjung, Bahkan yang Non-Muslim
Selain berfungsi sebagai masjid, Sultan Ahmed Camii adalah sebuah kompleks luas tempat berlangsungnya segala jenis kegiatan sosial. Di lahan masjid juga berdiri madrasah, sekolah dasar, paviliun kerajaan, arasta bazaar tempat para pedagang berjualan suvenir, taman, dan makam.
Wisatawan bebas berpiknik di pelataran maupun mengunjungi masjid, asal mematuhi aturan berbusana yang ditetapkan pengelola.
Sumber: Merdeka.com