TNews, SEHAT – Traveler pernah dengar atau justru pernah mencicipi sup sirip ikan hiu? Menu ini dikenal mahal dan dianggap prestige bagi penikmatnya.
Namun tahukah traveler, dengan mengkonsumsi daging hiu, traveler sebenarnya sudah berkontribusi merusak alam dan membahayakan kesehatan traveler sendiri. Lho kok bisa?
Dalam obrolan detikcom bersama travel influencer sekaligus pegiat isu lingkungan, Riyanni Djangkaru, ia menjelaskan bahwa hiu punya peranan penting bagi keseimbangan ekosistem laut. Hiu adalah predator yang sering disebut sebagai ‘dokter’ sebab ia dapat mendeteksi ikan yang sakit dan memangsanya. Jadi, hanya ikan yang sehat saja yang akan tetap hidup di lautan.
“Ketika dia hanya memangsa ikan pada rantai makanan yang paling lemah, maka dia menjadikan kumpulan spesies itu lebih kuat dan sehat karena yang sakit dan lemah ia konsumsi,” kata Riyanni yang juga aktif dalam kampanye Save Sharks Indonesia itu.
Senada dengan Riyanni, detikcom juga pernah berbincang dengan Peneliti Madya Bidang Oseanografi pada Pusat Riset Kelautan KKP, Dr. Widodo Pranowo yang menjelaskan jika hiu sampai punah, jaring rantai makanan yang ada ini bisa terganggu. Ketika hiu tidak ada, ikan-ikan besar akan berada di agen teratas dalam rantai makanan sehingga kebutuhan makan jadi lebih banyak. Hal ini menyebabkan populasi ikan kecil akan menipis atau punah juga.
Efek yang paling terasa bagi kita sebagai manusia adalah kita menjadi kekurangan sumber pangan. Traveler tidak bisa lagi makan hidangan laut favorit traveler. Bayangkan, traveler tak bisa mengkonsumsi kepiting saus tiram atau udang bakar saus padang lagi.
“Kalau misalnya kita mengkampanyekan gerakan makan ikan tapi di pasar ikannya itu-itu saja, pasti mikirnya males ah makan ikan. Padahal laut kita kan keragamannya sangat tinggi karena kita kan kawasan tropis,” ujar Riyanni.
Lantas, apa sih yang bisa menyebabkan hiu punah?
Salah satunya adalah perburuan hiu yang dijual untuk konsumsi masyarakat perkotaan, termasuk yang paling populer di Asia Timur. Berdasarkan data yang dirilis The Wildlife Trade Monitoring Network (TRAFFIC), dalam kurun waktu 2007-2017 rata-rata tangkapan hiu di Indonesia mencapai 110.737 ton per tahun. Fakta ini menjadikan Indonesia menempati posisi puncak sebagai negara penangkap hiu terbanyak di dunia.
Riyanni menyoroti fakta ini dengan mengajak konsumen untuk berhenti mengkonsumsi hiu. Sebab perburuan itu ada bila permintaannya tetap tinggi.
“Kita sebagai konsumen itu punya kuasa untuk bilang tidak. Kalau kita bilang nggak (seperti saat pandemi COVID-19 sekarang), sudah terbukti kok demand kita akan turun dengan sendirinya. Jadi bukan hanya masyarakat lokal atau pemerintah, kuasa terbesar sebenarnya ada di kita sebagai konsumen,” ujar Riyanni.
Selain itu, hiu sebenarnya juga tak layak untuk dimakan sebab dagingnya mengandung merkuri yang tinggi sehingga berbahaya bagi kesehatan. Level kadar merkurinya mencapai level 1, lebih tinggi ketimbang kadar merkuri pada tuna yakni 0,4 atau kepiting yang di bawah 0,2.
Merkuri pada hiu dapat menyebabkan kanker, meningkatkan risiko kerusakan otak, ginjal, jantung, hingga kemandulan sehingga WHO dengan tegas melarang wanita hamil, wanita yang sedang dalam program kehamilan, dan anak-anak untuk mengonsumsinya.
Dan lagi, hiu merupakan jenis ikan yang buang air kecil (kencing) dari kulitnya. Ini menyebabkan ia punya bau sangat amis. Itulah alasan mengapa hiu dimasak dengan banyak bumbu dan dalam waktu lama.
Untuk menyampaikan pesan pelestarian hiu, saat ini Riyanni bersama Save Sharks Indonesia dan sejumlah ilustrator sedang membuat komik edukasi mengenai hiu untuk anak-anak. “Tujuan kita sih sebenarnya menyampaikan sesuatu yang terdengar atau kompleks menjadi sederhana ke teman-teman yang di masa depannya akan berurusan dengan isu serupa yaitu anak-anak. Jadi ini adalah salah satu edukasi yang menyenangkan sih, sekarang sedang dicetak, tentunya karena pandemi ini cetaknya jadi lama. Mudah-mudahan bisa didistribusikan secepatnya,” pungkasnya.
Sumber: Detik.com