Ini Cerita Ratusan Orang yang Tak Pernah Mendengar soal Pandemi Corona

0
70

TNews, JAKARTA – Ratusan ribu warga yang berada di pelosok barat Myanmar tempat bentrokan aparat dengan pemberontak kemungkinan tidak pernah tahu tentang pandemi Covid-19 lantaran internet di sana sudah diputus selama setahun. Demikian dikatakan kelompok pembela hak asasi Human Right Watch dan Amnesty International.

Juni tahun lalu pemerintahan Myanmar yang dipimpin Aung San Suu Kyi memutus internet di sembilan kota di kawasan itu dengan alasan informasi bisa dipakai untuk memanas-manasi ketegangan antara militer Myanmar dengan pemberontak.

Satu kota internetnya sudah kembali pulih Mei lalu tapi delapan lainnya dengan jumlah penduduk mencapai 800.000 orang masih tidak punya akses Internet.

HRW dan Amnesty mengatakan perpanjangan pemutusan jaringan internet ini membuat kehidupan warga penuh risiko, tidak hanya hal itu membuat warga tidak bisa melaporkan pelanggaran hak asasi tapi juga membuat mereka tidak mendapat informasi soal kampanye kesehatan tentang pandemi Covid-19.

“Dengan konflik antara militer Myanmar dan Pasukan Arakan di Negara Bagian Rakhine di tengah pandemi ini, warga sipil berada dalam kondisi kritis untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan agar selamat,” kata Linda Lakhdir, penasihat hukum HRW Asia dalam pernyataannya, seperti dilansir laman CNN, Rabu (24/6).

“Tak Seorang pun Ditinggalkan”

Menurut data Kementerian Kesehatan Myanmar, hingga Senin lalu negara itu mencatat 292 kasus positif Covid-19 dengan enam kematian dari 64.532 tes yang dilakukan.

Sejumlah kasus ditemukan di Kota Maungdauw dan Buthidaung di sebelah utara Rakhine, tempat sekitar 100.000 muslim Rohingya tinggal di kamp penampungan. Sebagian Rohingya lainnya mengungsi lantaran tindakan kekerasan militer pada 2018. PBB menyerukan militer Myanmar menjalani pengadilan internasional atas tuduhan genosida terhadap muslim Rohingya. Warga Buddha di Rakhine juga terpaksa mengungsi karena bentrokan baru-baru ini di kawasan kamp pengungsi.

Ketika pandemi Covid-19 menyebar ke seluruh dunia, pemerintah Myanmar melancarkan kampanye “Tak Seorang pun Ditinggalkan” untuk mencegah penyebaran virus corona seperti aturan menjaga jarak.

Tapi anggota parlemen Myanmar Thoot May, yang mewakili Liga Nasional Arakan untuk Demokrasi di Majelis Tinggi Parlemen Minggu lalu mengatakan banyak warga yang tinggal di sebekah utara Rakhine dan Negara Bagian China tidak mendapat informasi soal peringatan kesehatan yang menyebar di Facebook, aplikasi pesan obrolan dan situs-situs pemerintah.

“Ketika saya menanyakan hal itu kepada konstituen saya soal Covid-19, saya harus menjelaskan kepada mereka dari awal,” ujar Htoot May. “Saya harus jelaskan ke mereka apa itu aturan jaga jarak dan bagaimana cara membersihkan tangan yang benar.”

“Saya tidak bisa bepergian jauh karena Covid-19 jadi hanya sedikit orang yang bisa saya peringatkan,” kata dia.

“Mereka tidak takut dengan corona karena mereka tidak tahu. Pada saat ini mereka lebih khawatir dengan konflik ketimbang Covid-19.”

151 Warga Sipil Tewas

entrokan terjadi akhir 2018 lalu antara militer Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw melawan pemberontak Pasukan Arakan yang menuntut otonomi lebih luas bagi warga Buddha Rakhine, mayoritas penduduk di negara bagian itu.

Selama konflik berlangsung, pemutusan jaringan internet membuat lebih banyak penduduk sipil tewas akibat tidak adanya informasi, kata surat pernyataan terbuka yang dirilis koalisi politisi Rakhine dan kelompok masyarakat di media sosial Minggu kemarin.

Menurut surat itu, bentrokan masih berlangsung meski pemutusan internet masih terjadi. Sebanyak 151 warga sipil tewas dan 344 lainnya terluka dalam bentrokan antara Januari hingga Mei.

“Ini bukan konflik yang bisa dimenangkan salah satu pihak di medan pertempuran,” kata pengamat independen Myanmar Richard Horsey dalam pernyataannya kepada The International Crisis Group.

Akses Informasi Pondasi Demokrasi

Kedua pihak sama-sama dituding melakukan kekejaman, kata Horsey. Anggota parlemen dari Partai Nasional Rakhine, Khine Kyaw Moe, mengatakan pemutusan internet membuat kekejaman di sana tidak terlaporkan dan terdokumentasi.

“Kedua pihak mungkin melanggar hak asasi, tanpa internet, warga terputus dari jurnalis dan LSM internasional yang bisa menjadi tempat mereka melaporkan kejadian,” kata Khine Kyaw Moe.

Dalam surat terbuka kepada Suu Kyi yang ditandatangani 79 kelompok pemangku kepentingan Rakhine, mereka mendesak ada solusi politik untuk mengatasi masalah ini dimulai dengan dipulihkannya kembali jaringan internet.

“Kebebasan berpendapat dan akses informasi adalah pondasi demokrasi. Di zaman ini akses ke informasi adalah standar demokrasi. Kesetaraan menuntut tersedianya informasi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan masyarakat,” kata surat tersebut.

 

Sumber: Merdeka.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.