TNews, NASIONAL – Sapardi Djoko Damono meninggal di usia 80 tahun. Kepergian sastrawan besar Tanah Air itu membawa duka mendalam bagi pencinta puisi dan sastra.
Sapardi Djoko Damono mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Eka, BSD, Tangerang Selatan, pada Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.
Sepanjang kariernya sejak tahun 1970-an, Sapardi Djoko Damono menghasilkan karya puisi hingga novel yang sukses digemari. Puisi-puisinya pun tak lekang oleh waktu, di antaranya adalah Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Duka-Mu Abadi sampai Yang Fana Adalah Waktu.
Lahir pada 20 Maret 1940, Sapardi Djoko Damono sudah menulis sejak masih remaja. Kegemaran menulis inilah yang membawanya menjadi Direktur Pelaksana Majalah Horison.
Ia merantau ke Jakarta pada 1973 setelah sempat tinggal di Semarang. Sapardi Djoko Damono juga dikenal sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia dan menjadi guru besar.
Meski sudah pensiun, Sapardi Djoko Damono tak berhenti berkarya. Ia tetap menulis fiksi maupun non-fiksi serta puisi.
Hampir setiap tahun, Sapardi Djoko Damono menelurkan karya terbaru. Dalam sebuah wawancara kepada detikcom, penyair Hujan Bulan Juni itu mengatakan di usia senjanya, ia ingin menerbitkan karya setiap bulan.
“Saya mau rilis buku setiap bulan. Setahun 12 kali, kalau diizinkan oleh penerbit saya, Gramedia Pustaka Utama,” ujarnya Sapardi tertawa ketika diwawancarai detikcom, belum lama ini.
Saat perayaan ulang tahun yang ke-77 tahun, Sapardi Djoko Damono merilis 7 buku puisi sekaligus. Semangatnya kian membara ketika merilis trilogi Hujan Bulan Juni yang bermula dari puisi sederhana.
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai sosok humoris, dalam setiap peluncuran karya ia selalu ditanya mengapa judul karyanya Hujan Bulan Juni?
Sambil berkelakar, Sapardi mengatakan, “Kalau bulan Desember itu nanti nggak ada artinya. Nggak ada yang nanya.”Salah satu karya termahal yang pernah ditulis Sapardi Djoko Damono adalah puisi berjudul Tuan, Tuhan Bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar.
Sapardi Djoko Damono menceritakan gara-gara puisi itu, ia diundang ke berbagai festival sastra di dunia. Ia mengatakannya saat peluncuran novel trilogi Soekram pada Maret 2015 silam.
“Tuan, Tuhan bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar. Ini jadi sajak paling mahal di dunia,” katanya.
Di tahun 1983, Sapardi mengikuti banyak lomba menulis puisi dan keluar menjadi pemenangnya. “Saya datang ke Kuala Lumpur dan diundang macem-macem. Pulang-pulang dibelikan mobil,” ungkapnya.
Sebenarnya, menurut penyair kelahiran Solo, puisi tersebut mendapatkan ide sederhana ketika seseorang tengah bertamu.
“Ada orang mengetuk pintu dan bertanya, Tuhan bukan? Lalu yang di dalam rumah menjawab seperti itu. Sederhana sekali,” kata Sapardi.
Sejumlah penghargaan juga berhasil diraih Sapardi Djoko Damono di antaranya Cultural Award dari Australia pada 1978, SEA Write Award dari Tahiland pada 1986, Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia di tahun 1990 hingga lifetime achievement di ajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018.
Selamat jalan, Eyang Sapardi Djoko Damono
Sumber : Detik.com