TNews, KOTAMOBAGU – Matahari yang tepat di atas kepala, mulai tidak bersahabat, teriknya membakar kulit. Dengan memikul kotak sol, Hardiman, (40), memasuki lorong di antara anak-anak yang sibuk main kelereng. Dari tampangnya, nampak jelas Hardiman bukan warga asli Kotamobagu. Logatnya yang kental memperjelas dugaan bahwa dia berasal dari Pulau Jawa.
Sejak 20 tahun silam, dia merantau ke tanah Sulawesi. Langkah takdir membawanya ke Kotamobagu. Kala itu, lewat teman se-kamar kos, Hardiman muda belajar teknik sol sepatu. Ingatan itu masih segar, berjalan kaki mengitari Kotamobagu hampir setiap harinya, membuat Hardiman menjadi kenal betul jalanan bahkan gang-gang sempit di kota ini.
Tak jarang, Hardiman menemukan jalan pintas. Hal ini pula yang membuatnya terbiasa dan merasa lebih tau lagi suasana jalanan Kotamobagu yang dianggapnya tidak sekeras jalanan di kota lainnya. Hardiman muda, memutuskan menetap, bekerja keras untuk berjuang menghidupi keluarga di Jawa.
Setelah berpindah-pindah, akhirnya Hardiman bisa mengontrak sebuah rumah, di Kelurahan Molinow, Kecamatan Kotamobagu Barat. Hal ini dia lakukan atas cinta yang besar terhadap isteri.
Dengan gadis asal Mopuya yang bersuku Jawa juga, Hardiman menikah. Meski demikian dia sulit meninggalkan Kotamobagu yang telah membesarkan semangat juangnya hingga bisa bertahan hidup merantau selama 20 tahun.
Saban minggu, Hardiman akan pergi menengok istrinya di Mopuya. Sesekali, istrinya yang datang ke Kotamobagu. Di rumah kontrakan Hardiman juga tetap membuka jasa sol bagi warga sekitar.
Tak banyak mengambil untung. Hardiman ingin mengejar keberkahan agar segala urusan hidupnya senantiasa dilancarkan oleh Sang Pencipta.
“Banyak yang bilang, di tempat lain sepasangnya (sepatu) itu Rp35 ribu. Kalau saya tidak. Saya hanya mematok harga Rp15 ribu saja, toh modalnya juga tidak begitu besar. Asal berkah saja,” ujar Hardiman, Selasa, (18/08/2020).
Kesyukuran senantiasa membuat hidup hardiman tercukupi. Dari hasil sol sepatu, Hardiman bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, menabung, dan juga mengikirmkan sebagian untuk keluarga di Jawa.
“Saya keliling sejak pukul 08.00 Wita, pulangnya pukul 17.00 Wita, kalau beruntung dalam sehari bisa Rp300 ribu, kalau lagi belum rezeki ya Rp50 ribu pun ada. Alhamdulilahnya, selama ini tidak pernah tidak ada sama sekali,” ucapnya.
Hardiman mengaku sudah merasa menyatu dengan Kotamobagu, Terkadang jika ada kelebihan dan berkunjung ke Jawa, Hardiman justru merasa asing. Sebaliknya, Hardiman merasa lebih orang Kotamobagu dari orang Kotamobagu asli.
“Barangkali karena sudah terlalu lama di rantau, keadaan berubah. Teman-teman juga sudah menikah semua. Barangkali hingga menutup mata, saya akan di Kotamobagu,” candanya sambil tertawa.
Neno Karlina