Kisah Pemilik Gaharu yang Tak Cepat Tergiur dan Lebih Pilih Tindakan Pelestarian

0
46313
Gunawan Kastroredjo saat berada di kebun Gaharu, Senin, (03/08/2020), (Foto: TNews/Neno Karlina).

TNews, Kotamobagu – Bersepatu lars lengkap dengan topi gunung, Gunawan Kastroredjo, (59), menaiki sebuah motor yang sejak tadi sudah disediakan anaknya, terparkir siap untuk mengantarnya ke kebun. Sebuah ransel warna keabu-abuan yang biasanya dipenuhi oleh cairan inokulan, bor dan alat suntik tak lupa dibawa.

Bersama si bungsu, hampir setiap pagi di setiap harinya, Gunawan berkunjung ke kebun. Aktifitas ini telah menjadi rutinitas selama bertahun-tahun. Apalagi, sejak Gunawan mulai mempelajari taknik budidaya pohon bernilai ekonomis tinggi, yang sekarang sangat dicari dan mulai langka, Gaharu.

Bibit pohon Gaharu, (Foto: TNews/Neno Karlina)

Wajar saja, dari rumahnya di Desa Purwerejo, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, (Boltim), hanya butuh sekitar 15 menit menuju kebun. Sehingga tak terlalu sulit bagi Gunawan untuk menghabiskan waktu bolak-balik dari lokasi pohon-pohon menjanjikan ini.

Dulu, sebelum hampir seluruh waktunya habis mengurusi Gaharu, Gunawan adalah seorang tenaga pemetaan, juga sempat menjadi Kepala Desa.  Di tempatnya bekerja dululah, Gunawan dikenalkan dengan Gaharu dan mulai merasa tertarik. Segala informasi tentang Gaharu di buku-buku juga media massa; koran dan majalah pun dikumpulkan.

Saat ini di kebun Gunawan, ada kurang lebih 250-an tegakan Gaharu berusia 20 tahun. Gaharu yang ditanam adalah jenis Gyrinops Rosbergii, merupakan Gaharu endemik Sulawesi. Jenis ini sebenarnya juga masih banyak bisa ditemukan di Desa Badaro, Boltim. Hanya saja perburuan yang makin banyak membuatnya mulai langka.Terlalu sedikit yang menanam, tapi terlalu banyak penebangan.

Kelangkaan inilah yang membuat Gunawan merasa terpanggil untuk membudidayakan Gaharu. Padahal, bukan rahasia lagi, jika kubal yang dihasilkan Gaharu memiliki nilai ekonomis, terlebih jenis Gyrinops Rosbergii adalah jenis primadona, bernilai jual sangat tinggi bukan hanya di Indonesia, tapi di pasar global. Kesemua itu tak membuat Gunawan cepat tergiur.

Pohon Gaharu yang sudah dicap, sebagai bahan penelitian, (Foto: TNews/Neno Karlina)

Gunawan lebih memilih tindakan konservatif, bahkan keseriusannya belajar teknik budidaya Gaharu agar bisa terus dilestarikan, membuat lahannya menjadi objek penelitian bagi peneliti dan lembaga riset.

“Hampir setiap tahun mereka datang mengambil data, melakukan penelitian terhadap teknik budidaya. Bahkan mereka meminta agar saya belum memanen pohon-pohon ini dalam jangka waktu tertentu, guna kepentingan penelitian,” ucap Gunawan.

Menurut Gunawan, yang membuat Gaharu bernilai jual tinggi adalah kubal. Kubal terbentuk dari dahan atau batang pohon yang terluka. Biasanya karena patahan di cabang pohon, atau karena terpaan angin dan guyuran hujan dalam waktu lama. Itu jika terjadi secara alamiah. Gaharu yang tumbuh liar di pedalaman hutan, rata-rata hanya sekitar 25 persen yang memiliki kubal.

Berbeda dengan Gaharu yang dibudiyadakan, peluang terbentuknya kubal bisa sampai 75 persen. Dengan teknik inokulasi Gunawan mencoba membuat pohon-pohon Gaharu miliknya menghasilkan kubal. Batang pohon sengaja dilukai, dibor dan dimasukan cairan inokulan. Cairan ini akan dianggap benda asing dalam pohon, sehingga sel pohon akan menghasilkan senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh luka tadi. Senyawa fitoaleksin tersebut berupa resin berwarna coklat dan mengeluarkan aroma harum.

“Memang karena harga jual dan aromanya yang harum, konon katanya tumbuhan ini dari surga. Benar atau tidak saya juga tidak tahu, yang saya tahu hanya cairan inokulannya lumaian mahal,” canda Gunawan.

Sebotol cairan inokulan bisa sampai Rp500-600 ribu, sementara sebotolnya bisa digunakan untuk 2 atau 3 kali suntikan per pohon.

Memang sejak ditanam 20 tahun lalu, Gunawan belum pernah memanen Gaharunya. Hanya saja, kala pohon ini berusia 12 tahun, ada satu pohon yang roboh. Saat itu pohon dibeli dengan harga Rp20 juta.

“Lumaian, tapi kan tujuan awal saya tidak ke situ, saya ingin Gaharu ini bisa dilestarikan, lagipula tanpa memanen tegakan, masih bisa memperoleh penghasilan lain,” ujar Gunawan.

Gunawan bersama awak media TNews, saat berkunjung ke kebun Gaharu, (Foto: TNews/Neno Karlina)

Saat ini Gunawan hanya berjualan bibit Gaharu. Semua bibit Gaharu miliknya juga sudah bersertifikaf. Dari hasil menjual bibit, Gunawan mengaku telah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, hingga menyekolahkan anak-anaknya.

“Alhamdulilah, bibit dari sini sudah saya kirim ke pelbagai daerah di Indonesia seperti Jawa, Nusa Tenggara dan Sumatera. Kan memang sudah bersertifikat juga, jadi aman,” kata Gunawan.

Dengan menjual bibit, Gunawan berharap akan lebih banyak yang menanam daripada menebang, sehingga pohon ini bisa terus dilestarikan dan akan banyak generasi lagi yang bisa mengetahuinya.

“Manusiawi jika berpikir materi, tapi lebih dari semua itu, saya ingin itu hanya sebagai bonus, tapi yang utama adalah pelestarian,” ungkap Gunawan.

Neno Karlina

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.