TNews, Kotamobagu – Suara komandan upacara terdengar menggelegar dari pengeras suara, mengisi setiap sudut Lapangan Boki Hotinimbang, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara.
Selain suara musik bambu yang memainkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Soepratman, tak ada lagi suara apa-apa. Semua orang tampak berdiri tegak lengkap dengan masker dan posisi hormat, memandangi bendera merah putih yang perlahan bergerak naik.
Dengan tangan kiri yang gemetar memegang keranjang berisi keripik pisang, Refa Paputungan, (12), tidak mau ketinggalan. Tangan kanannya turut hormat, walau sengatan matahari membuat bulir keringat bergantian jatuh di pipi. Siswa kelas VI, SDN 2 Bongkudai, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), ini begitu antusias, matanya berbinar sejak awal pasukan pengibar bendera yang hanya berjumlah delapan orang (karena Pandemi) masuk ke area upacara.
Sebenarnya Refa bukan peserta upacara. Tujuan utamanya berada di pusat peringatan Hari Kemerdekaan (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-75 di Kotamobagu ini adalah mengais rezeki. Sudah hampir 3 bulan belakangan, waktunya banyak dihabiskan membantu orangtua.
Dari adzan subuh berkumandang Refa sudah bangun, sholat dan mempersiapkan dagangan yang akan dibawa. Ditemani Ya’a Mamonto, (54), wanita paruh baya sekampung kenalan ibunya, Refa biasa sudah harus berada di Kotamobagu sebelum pukul 07.00 Wita.
Rutinitas ini mulai dilakukan sejak pandemi Covid-19 menyerang dan pemerintah mengharuskan belajar secara virtual.
“Sebenarnya laring tidak sebagus belajar langsung di sekolah. Selain tidak begitu paham, kuotanya yang mahal. Jadi, saya harus kerja keras berdagang keripik agar bisa membantu orangtua membeli kuota,” ujar Refa, Senin, (17/08/2020).
Kadang, Refa ingin seperti teman-temannya yang lain, tidak perlu jualan dan berdiam di rumah. Hanya saja, oleh kedua orangtuanya, Refa diajarkan selalu semangat berjuang juga tidak menyerah. “Kalau tidak mau miskin, harus belajar. Biar bisa sukses dan kerja yang layak. Makanya saya harus terus jualan keripik biar bisa tetap belajar dan jadi pintar,” ucap Refa.
Semangat juang yang tertanam sejak belia membuat Refa tidak merasa malu berjualan. Tak jarang Refa membawa dagangan lebih dari biasanya. “Biasa 35 bungkus, tapi kadang hingga 50 bungkus yang dibawa. Perbungkusnya Rp5 ribu, kadang laku terjual semua, kadanv tidak,” jelas Refa.
Meski belajar virtual, Refa memasang target lulus dan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya, semua itu agar perjuangan berjualan keripik selama ini tidak sia-sia. “Semoga tetap sekolah agar bisa jadi orang berguna, dan mencari uang dengan cara yang lebih mudah”.
Seiring harapan Refa, Ya’a selalu melimpahkan doa. Wanita yang sudah 10 tahun lebih dulu jualan daripada Refa ini, mengaku bangga melihat semangat Refa.
“Harusnya dia bermain seperti anak seusianya. Tapi dia memiliki pemikiran yang begitu dewasa. Dia tidak malu berjualan bersama saya yang sudah tua. Malah dia membantu menjualkan dagangan saya jika, dagangannya lebih dulu habis terjual”.
Neno Karlina
