Fenomena Trah Petahana Keok di Pilkada Sulut, Ini Kata Pengamat

0
56

TNews, POLITIK – Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Utara (Sulut) tahun 2020, memberi kejutan besar.

Hampir semua trah incumbent yang bertarung di 7 Kabupaten/Kota Pilkada se-Sulut 9 Desember kemarin, keok.

Para incumbent dan trahnya, seperti:

  1. Calon Wali Kota Bitung Max Lomban (Wali Kota Bitung)
  2. Calon Bupati Minahasa Selatan (Minsel) Michaela Elsiana Paruntu (Adik Bupati Minsel Christiany Eugenia Tetty Paruntu)
  3. Calon Bupati Minahasa Utara (Minut) Shintia Gelly Rumumpe (Anak Bupati Minut Vonnie Anneke Panambunan)
  4. Calon Wali Kota Tomohon Jilly Gabriella Eman (Anak Wali Kota Tomohon Jimmy Eman)
  5. Calon Wali Kota Manado Julyeta Paulina Amelia Runtuwene (Istri Wali Kota Manado Vicky Lumentut)
  6. Calon Bupati Bolmong Timur (Boltim) Amalia Landjar (Anak Bupati Boltim Sehan Landjar)
  7. Calon Wakil Bupati Minut Joppy Lengkong (Wakil Bupati Minut)
  8. Calon Wali Kota Manado Mor Dominus Bastiaan (Wakil Wali Kota Manado)

Hanya incumbent Bupati Bolsel Iskandar Kamaru, Maurits Mantiri (Wakil Wali Kota Bitung yang terpilih sebagai Wali Kota Bitung) dan Frangky Wongkar (Wakil Bupati Minsel yang terpilih menjadi Bupati Minsel) yang melanjutkan estafet kepemimpinannya.

Menurut pengamatan para pemerhati politik, fenomena ini menjadi bukti bahwa pemilih di Sulut telah rasional.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow sedikitnya mencatat ada empat alasan sehingga trah incumbent bisa tumbang.

Pertama, mereka bertemu dengan lawan yang relatif dengan kuat atau dengan politisi yang lebih senior yang punya basis massa kuat.

“Saya kira, keluarga petahana ini terlalu dipaksakan juga untuk menjadi calon kepala daerah. Meskipun mereka selama ini sudah berkiprah di daerah, tapi belum cukup matang dan mengakar. Sebab faktor relasi keluarga menjadi variabel dominan yang membuat mereka berada di posisi calon kepala daerah. Sebetulnya, di beberapa tempat figur wakil mereka lebih kuat dan lebih tepat untuk posisi sebagai calon kepala daerah. Saya kira, pemilih di daerah masing-masing sudah cukup rasional untuk menilai unsur ‘pemaksaan’ pencalonan tersebut. Sehingga pemilih mengambil posisi untuk tidak memilih mereka pada tanggal 9 Desember lalu,” ujar Jeirry ketika dihubungi BeritaManado, Minggu (13/12/2020).

Kedua, Jeirry menilai, ada kejenuhan pemilih terhadap orangtua atau keluarga dari incumbent.

Dikatakan Jeirry, ini bagian dari kritik pemilih terhadap 5-10 tahun pemerintahan incumbent yang mungkin tidak memberi kemajuan banyak di daerah mereka.

“Perubahan tidak signifikan. Kalau ada perubahan tentu tidak bisa secara otomatis menjadi modal dari keluarga incumbent. Ini bagian kritik dari masyarakat terhadap orangtua atau keluarga mereka yang memerintah di daerah masing-masing,” katanya.

Ketiga, para incumbent pecah konsentrasi selama Pilkada.

Jeirry mencontohkan kasus di Pilkada Minut, Minsel dan Boltim, dimana ibu Shintia Gelly Rumumpe begitu juga dengan kakak dari Michaela Elsiana Paruntu, dan ayah dari Amalia Landjar, menjadi peserta Pilgub Sulut sehingga membuat konsentrasi terpecah.

Keempat, Jeirry mengakui mesin partai masing-masing kurang begitu efektif bekerja.

“Saya kira mesin partai PDIP bekerja baik di Pilkada Sulut 2020. Ada kekuatan figur yang mereka tampilkan dan ada kerja yang lebih nyata dari mesin partai PDIP. Mungkin politik uang bukan faktor utama karena itu mungkin dilakukan juga oleh semua kandidat sehingga politik uang jadi tidak efektif untuk mempengaruhi opini pemilih,” pungkas Jeirry.

Pendapat tidak jauh berbeda dikemukakan Dosen Kepemiluan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politi (Fisip) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Ferry Daud Liando.

“Casenya beda-beda tiap daerah. Tak bisa digeneralisasi di masing-masing daerah. Sebab ada perbedaan fenomena di masing-masing daerah. Namun secara garis besar harus diakui tumbangnya sejumlah petahana disebabkan karena PDIP adalah satu-satunya parpol yang paling solid di Sulut untuk saat ini,” kata Ferry.

Ia menilai struktur kelembagaan PDIP sangat kuat dari tingkat pusar, provinsi, kabupaten/kota, cabang hingga ranting di tingkat desa.

Itulah sebabnya hampir semua calon yang diusung PDIP menonjol di sejumlah daerah.

“Di satu sisi calon-calon yang diusung PDIP adalah figur-figur yang menambah mengakar dan memiliki nama besar di masyarakat,” kata Ferry.

Faktor lainnya adalah para pejabat yang ditempatkan di daerah yang ditugaskan untuk mengisi kekosongan sementara menjalankan visi dengan baik.

Walaupun kelihatannya para pejabat sementara ini berposisi netral namun kebijakan untuk memaksa ASN di daerah yang dipimpinnya wajib netral sesungguhnya memberikan keuntungan bagi calon-calon yang diusung PDIP.

Lanjut Ferry, di Minsel, Minut dan Boltim, calon yang merupakan kerabat kepala daerah setempat kalah karena bupatinya terkonsentrasi pada pemenangan gubernur.

Ini menyebabkan banyak ASN yang justru tidak memberikan dukungan karena kurang dikontrol dan berpindah pilihan.

“Kalau di Tomohon, kerabat wali kota tumbang karena memang calon yang diajukan Golkar itu kalah start dalam melakukan sosialisiasi ke publik. Sementara Golkar sebagai pendukung tidak solid memobilisasi dukungan. Tokoh Golkar seperti ibu Syerly (Wakil Wali Kota Tomohon Syerly Adelyn Sompotan) justru mendukung calon dari PDIP,” jelas Ferry.

Sementara untuk Bitung, Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) itu berpendapat, petahana tumbang karena ia kerja sendiri.
NasDem sebagai partai pengusung tidak banyak terlibat dalam penggalangan suara.

Apalagi elit-elit NasDem lain terkonsentrasi juga mendukung kader NasDem yang berkompetisi di tingkat provinsi.

“Kalau di Manado, kerabat wali kota kalah karena terpecahnya konsentrasi ASN dan aparat kelurahan dalam memberikan dukungan antara PAHAM (Julyeta Paulina Runtuwene dan Harley Alfredo Benfica Mangindaan) dan kepada pak Mor (Wakil Wali Kota Manado Mor Bastian). Ketika dukungan aparat terbagi merata, maka AA dan Icad (Andrei Angouw-Richard Sualang) mendapat suara mayoritas. Jika saja hanya salah satu yang tampil antara PAHAM atau Mor, kondisinya bisa jadi lain. Sebab bisa jadi ASN dan aparat akan terkonsentrasi pada satu dukungan,” kata Ferry.

 

Sumber: Berita Manado

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.