TNews, POLITIK – – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan tekadnya menghentikan populisme Islam berkembang luas dan justru menggiring nilai agama menjadi norma konflik.
Pernyataan tersebut diungkapkan Yaqut dalam webinar silaturahmi nasional lintas agama atau dua hari pasca perayaan Natal pada Jumat (25/12).
“Saya tidak ingin, kita semua tentu saja tidak ingin populisme Islam ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya,” kata dia dalam acara yang disiarkan langsung lewat akun YouTube Humas Polda Metro Jaya, Minggu (27/12).
Menurut Yaqut, populisme Islam merupakan upaya untuk menjadikan agama sebagai norma konflik di tengah masyarakat. Dalam istilah paling ekstrem, lanjut dia, populisme Islam akan menjadikan kelompok yang berseberangan atau berbeda keyakinan sebagai musuh
“Yang namanya musuh atau lawan ya harus diperangi, itu norma yang kemarin sempat berkembang atau istilah kerennya populisme islam,” ujar dia.
Panglima Banser itu menyebut, salah satu perilaku yang dinilai sebagai akar dari meluasnya populisme Islam di Indonesia yakni intoleransi. Menurutnya, intoleransi adalah sikap yang menganggap diri dan kelompoknya paling benar, dengan menganggap kelompok lain yang berseberangan adalah salah.
Ia tak menampik bahwa paham semacam itu berkembang di tengah masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Walhasil mengatasnamakan dan menyeret agama sebagai sumber konflik.
“Kita sekarang atau tahun-tahun belakangan ini, kita merasakan bagaimana agama itu sudah atau ada yang berusaha menggiring agama menjadi norma konflik,” tutur dia lagi.
Berangkat dari fenomena itulah, Yaqut menegaskan dirinya tak lagi ingin populisme Islam kian meluas di masyarakat. Ia pun menyerukan kepada masyarakat bahwa agama semestinya menjadi inspirasi, bukan hanya sebagai aspirasi.
Menurut Yaqut, pada prinsipnya, makna filosofis dalam beragama adalah saling menghormati dan menghargai. Prinsip ini pula yang menurut dia diadopsi dalam pembentukan sebuah negara.
Apalagi, katanya, Indonesia dibentuk berdasarkan kesepakatan beragam agama dan tak memandang mayoritas dan minoritas. Oleh sebab itu, ia meminta agar masyarakat patuh dan mengikuti kesepakatan tersebut.
Karena itu dia bilang, bila ada pihak yang merasa paling benar dan tidak menghormati pemeluk agama lain, itu menunjukkan bahwa warga negara tersebut tak mengamalkan filosofi negara itu sendiri.
“Jadi barang siapa yang ingin menghilangkan satu sama lain atas dasar agama, maka artinya mereka tidak mengakui Indonesia. Mereka tidak memiliki rasa ke-Indonesia-an,” pungkas Yaqut.
Sumber: Cnn Indonesia