TNews, NASIONAL – Mitigasi struktural bencana gempa di Indonesia seperti jalan di tempat. Akibatnya, setiap kali terjadi gempa di suatu daerah, jumlah korban jiwa atau luka-luka sering kali cukup banyak. Padahal mitigasi pasif sudah banyak terinformasi: apakah di suatu daerah terdapat sesar gempa, catatan sejarah di masa lalunya seperti apa, dan keaktifannya bagaimana.
“Bila ketiga hal ini terpenuhi, berarti jangan asal bangun rumah atau gedung. Semua proyek pembangunan harus berbasis risiko bencana dengan memperhatikan potensi gempa dan tsunaminya seperti apa. Agar dalam jangka panjang kehidupan masyarakat bisa selamat,” papar Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Dr Daryonon, M.Si, kepada tim blak-blakan, Selasa (19/1/2021).
Sebenarnya, dia melanjutkan, gempa itu punya return of period (periode pengulangan), ada semacam ulang tahunnya. Cuma waktu persisnya yang secara keilmuan sampai sekarang belum dapat diprediksi. Daryono mencontohkan, gempa di Mamuju-Majene, Sulawesi Barat, pada pekan lalu mirip dengan gempa yang pernah terjadi pada 23 Februari 1969.
Sumbernya sama, yaitu Sesar Naik Mamuju (Mamuju Thrust). Namun kala itu magnitudo gempa mencapai 6,9 dan berpusat di laut sehingga menimbulkan tsunami. Akibatnya, sebanyak 64 orang meninggal, 97 luka, dan 1.287 rumah rusak di empat desa.
Catatan gempa dahsyat pertama di Nusantara, Doktor Ilmu Geografi Mitigasi Bencana dari UGM itu kembali mencontohkan, terjadi di Jakarta pada 1699. Kala itu jumlah korban jiwa akibat tertimpa reruntuhan rumah mencapai 25 orang. Perbandingan yang ekstrem adalah gempa di Yogya pada 27 Mei 2006 dengan gempa di Suruga, Jepang, pada 10 Agustus 2009.
Kedalaman dan kekuatan gempa keduanya sama: magnitudo 6,4. Kondisi geologi dan kepadatan penduduknya juga mirip. Tapi jumlah korban di Jepang cuma satu orang, sedangkan di Yogya mencapai 5.800 orang.
“La kok setiap ada gempa, banyak bangunan roboh dan menimbulkan banyak korban jiwa. Mau sampai kapan seperti ini?” ujar Daryono.
Di Jepang, kata dia, sejak 1980 pemerintah sudah mewajibkan semua rumah/bangunan harus tahan gempa. Bahkan di Taiwan, kalau rumah bertingkat roboh saat terjadi gempa, pemborongnya dipenjarakan.
“Sebenarnya, gempa itu tidak membunuh, tidak melukai. Tapi rumah yang roboh itu yang melukai. Mitigasi bencana gempa itu solusi utamanya cuma satu, yaitu membangun bangunan tahan gempa. Tapi program mitigasi struktural bencana gempa di kita itu (sepertinya) jalan di tempat,” Daryono kembali menegaskan.
Andai tidak mampu membangun rumah tahan gempa karena biayanya mahal, masyarakat dapat membuat rumah aman gempa dengan bahan dasar kayu atau bambu. Cuma desainnya harus dibikin menarik biar tetap bergengsi.
“Dengan bahan yang ringan, kalau roboh tak akan melukai atau mematikan. Gempa kan tidak membunuh, tidak melukai. Tapi bangunan robohnya itu,” ujarnya.
Selengkapnya, saksikan Blak-blakan Daryono terkait gempa Majene-Mamuju, Rabu (20/1/2021).
Sumber: detik.com