TNews, NASIONAL – Ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) banyak menimbulkan kontroversi. Oleh sebab itu, ia setuju dengan usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merevisi UU itu.
“Revisi suatu UU harus memiliki landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. UU ITE secara sosiologis ada masalah yakni penerapannya menimbulkan kontroversi, polemik, diduga dijadikan instrumen untuk membatasi kritik,” kata Suparji kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Menurut Suparji, secara yuridis ada pasal yang multitafsir dan abu-abu. Penerapan UU ITE kerap menimbulkan ketidakadilan.
“Secara filosofis ada pergeseran norma, yang semula dimaksudkan untuk mengatur transaksi elektronik tetapi mengatur juga muatan informasi yang bersinggungan dengan aspek politik,” papar Suparji.
UU ITE juga sudah seringkali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu mengindikasikan ada masalah konstitusionalitasnya.
“Revisi hendaknya komprehensif dan paradigmatik, yaitu memisahkan transaksi elektronik dan informasi elektronik,” beber Suparji.
Revisi yang dimaksud untuk memperjelas sebuah norma. Yaitu sebagai delik formil atau materiil dan delik biasa atau aduan. Pasal yang perlu direvisi menurut Suparji yaitu pasal 27 sampai dengan pasal 37 UU ITE.
“Perlu dibuat naskah akademis yang disusun akademisi sehingga bersifat ilmiah dan obyektif bukan bersifat politis,” pungkas Suparji.
Sebelumnya, LSM SAFEnet mengusulkan 9 pasal di UU ITE yang perlu dihapus karena multitafsir dan menimbulkan dampak sosial:
- Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
Sumber: detik.com