TNews, NASIONAL – Menghapus Ujian Nasional (UN) jadi langkah besar pertama yang dipilih Mendikbud Nadiem Makarim untuk unjuk gigi dalam membenahi pendidikan di Indonesia setelah diangkat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) jadi pembantunya pada periode kedua kepresidenan.
Nadiem sukses membuat lingkungan pendidikan heboh ketika mengumumkan niatnya itu di hadapan seluruh jajaran dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia dalam rapat koordinasi di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan pada Desember 2019.
“Penyelenggaraan UN tahun 2021 akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (kini disebut Asesmen Nasional), yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi) dan penguatan pendidikan karakter,” kata mantan bos Go-jek itu.
Wacana itu bahkan terkabul lebih cepat dari harapan. Berkat pandemi Covid-19, seluruh siswa tingkat akhir di penjuru daerah bisa lulus tanpa UN pada 2020. Kini, keadaan yang sama pun akan terulang pada 2021.
Melalui Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2021, Nadiem menegaskan UN dan ujian kesetaraan tak akan dilaksanakan karena situasi pandemi belum dinilai aman. Kelulusan ditentukan melalui mekanisme yang ditentukan sekolah.
Sekolah bisa menentukan kelulusan siswa melalui portofolio evaluasi nilai rapor, nilai sikap dan prestasi siswa; penugasan; tes secara luring atau daring; dan bentuk kegiatan penilaian lain. Ketentuan kelulusan ini akan berlangsung untuk seterusnya.
“Dulu kita menuntut guru berhak memberikan nilai, bukan pemerintah. Sekarang kita kembalikan ke bapak/ibu guru masing-masing. Lewat nilai rapor dari SD, SMP, SMA, diserahkan penilaian di sekolah,” kata Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Jumeri melalui konferensi video, Kamis (4/2).
Perubahan yang tak tanggung-tanggung ini mengundang komentar, baik yang mendukung maupun yang meragukan. Di internal pemerintahan, Nadiem mendapat dukungan langsung dari Jokowi. Namun di jajaran legislatif, menteri muda itu tak begitu saja lolos dari incaran pelbagai pertanyaan dan tantangan. Anggota Komisi X DPR Fraksi Gerindra Sudewo menjadi salah satu yang kritis mengkritik wacana Nadiem.
Menurutnya, penghapusan UN tak bisa dilakukan terburu-buru dan harus disertai dengan pemetaan seleksi penggantinya yang jelas. Ia juga mempertanyakan mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kedepannya.
“Kenapa? Karena apa yang dirancang bahwa UN akan diubah jadi asesmen ini sesuatu yang belum teruji. Jangan sampai ada satu gagasan yang seolah-olah bagus tapi implementasinya justru lebih buruk dari UN,” tuturnya kepada Nadiem.
Sementara di kalangan guru dan siswa, keputusan Nadiem disambut baik. Guru menilai UN memang tak efektif dijadikan tolak ukur menilai kinerja dan capaian pendidikan siswa, sehingga dibutuhkan pendekatan yang baru.
Untuk mengisi kekosongan UN, Nadiem menciptakan Asesmen Nasional (AN). Pengujian ini diklaim berbeda jauh dari UN karena tak dipakai untuk menilai siswa, menentukan kelulusan, maupun untuk seleksi masuk sekolah.
AN terinspirasi dari asesmen internasional yang digunakan sejumlah negara di dunia untuk mengukur capaian pendidikan, yakni Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA).
Bentuk ujiannya tak lagi dengan menghafal atau melatih materi pelajaran. Tapi dengan mengasah cara bernalar siswa dari unsur literasi maupun numerasi.
“Sangat penting dipahami terutama bagi guru, kepala sekolah, murid dan orang tua, bahwa Asesmen Nasional untuk 2021 tidak memerlukan persiapan khusus, maupun tambahan yang justru jadi beban psikologis tersendiri. Tidak usah cemas, tidak perlu bimbel,” kata Nadiem waktu mengumumkan asesmen nasional untuk tahun ini.
Ada tiga tipe ujian yang dilakukan, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk menguji capaian kognitif, Survei Karakter untuk mengukur karakter siswa, dan Survei Lingkungan Belajar yang juga diikuti oleh guru dan kepala sekolah.
Nantinya, hasil ujian digunakan untuk mengukur capaian pendidikan sekolah. Dari asesmen itu, diharapkan sekolah, pemerintah daerah dan pusat dapat memetakan kebutuhan dan kemampuan sekolah untuk kepentingan kebijakan dan pendampingan ke depannya.
Pelaksanaan Asesmen Nasional ini semula rencananya akan digelar September 2021. Namun, jadwal itu terpaksa mundur dari rencana awal karena pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan sinyal positif di Indonesia.
Nantinya, Asesmen hanya akan diikuti siswa kelas V, VIII, dan XI yang dipilih secara acak, 35 siswa per sekolah di pendidikan dasar dan 45 siswa di pendidikan menengah.
Namun metode pelaksanaan seperti ini, menurut Deputi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono, perlu diterapkan dengan hati-hati.
Pasalnya, kata dia, jika AN bertujuan untuk mengukur capaian pendidikan secara nasional, setiap peserta yang dipilih harus benar-benar merepresentasikan situasi di sekolahnya.
“Penentuan sampling yang mengabaikan jumlah peserta didik secara keseluruhan ini harus dapat mewakili klaster peserta didik yang ada di dalam suatu satuan pendidikan. Pakar pendidikan atau peneliti tentunya akan mempertanyakan keterwakilan klaster ini,” ucap Nadiem.
Sumber : CNNIndonesia.com