Pakar kebijakan hutan dan ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Dodik Ridho Nurrochmat memproyeksi Indonesia akan kehilangan 55 juta hektare tutupan hutan di tahun 2040. Ia mengatakan dengan jumlah tersebut, Indonesia sudah memasuki zona bahaya deforestasi. “Proyeksi tutupan hutan, forest lost-nya 55 juta hektare itu 22 tahun dari tahun 2018, kurang lebih tahun 2040. Itu sudah mencapai limit, mendekati garis irreversible. Harus kita stop,” tuturnya dalam diskusi yang disiarkan akun Youtube Kemitraan Indonesia, Jumat (26/3).
“Karena kalau kita lanjutkan lagi bahaya, masuk zona bahaya. Apapun konsensusnya kami menyarankan tidak boleh (kawasan) non hutan lebih dari 55 juta hektare,” tambah dia. Proyeksi itu didapat Dodik dari studi yang dilakukan IPB pada periode analisa 2016-2018 yang berjudul “Conversation about the turning point of forest loss in Indonesia: a review of government targets to achieve sustainable development”. Studi tersebut memproyeksi jumlah penurunan tutupan hutan mencapai 55 juta hektare jika pemerintah tidak berupaya membuat kebijakan pertumbuhan ekonomi yang baru, dan tetap melakukan ‘bisnis seperti biasa’ (business as usual) untuk area-area rimba.
Sementara, jika pemerintah berupaya melakukan kebijakan baru yang meminimalisasi deforestasi, Dodik mengatakan penurunan tutupan hutan hingga 55 juta hektare baru bakal terjadi pada 2057. Dengan kondisi kebijakan saat ini, ia pun ragu Indonesia bakal bebas dari deforestasi atau mencapai deforestasi netto nol pada 2030. Menurutnya dengan perubahan kebijakan yang progresif saja, kondisi bebas deforestasi baru mungkin dicapai 2057. Dodik menjelaskan kondisi bebas deforestasi itu bukan berarti tidak ada aktivitas penebangan hutan sama sekali. Melainkan, angka deforestasi seimbang atau kurang dari luasan reforestasi (penanaman kembali) dan aforestasi (pembentukan hutan).
Dodik mengatakan penghentian aktivitas penebangan hutan sama sekali tidak mungkin dilakukan mengingat Indonesia memiliki kebutuhan pangan yang membutuhkan setidaknya 15 juta hektare lahan dalam beberapa tahun ke depan. Selain berdampak buruk terhadap lingkungan, langkah kebijakan pemerintah saat ini juga dinilai tidak membantu mempercepat langkah Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi dengan pendapatan per kapita di atas US$29 ribu pada 2045. Dodik mengatakan studi memproyeksi pendapatan per kapita di tahun itu paling baru mencapai di atas US$10 ribu. Sementara dengan kebijakan yang lebih baik bagi ekonomi dan lingkungan, Indonesia bisa mengantongi target pendapatan per kapita di atas US$12,5 ribu di tahun yang sama.
Dodik menerangkan studi IPB tersebut pada akhirnya menyarankan strategi yang digunakan untuk mencapai target negara berpendapatan tinggi dan menekan laju deforestasi adalah kebijakan ekonomi hijau. Dimana kebijakan harus menciptakan pertumbuhan ekonomi, bersih dari polusi dan pencemaran, serta memiliki daya lenting terhadap perubahan iklim dan sosial. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk menjalankan kebijakan ini, kata Dodik, adalah dengan menetapkan secara formal batasan luasan hutan yang akan dipertahankan seiring dengan upaya pertumbuhan ekonomi.
Dodik mengatakan pemerintah juga perlu menetapkan batasan kawasan hutan untuk menentukan kategori aktivitas deforestasi, degradasi (penurunan tutupan hutan), aforestasi, dan reforestasi berdasarkan batas formal yang ditentukan. “Konsensus ini (kebijakan yang berkelanjutan) yang sampai sekarang kita belum ada kesepakatan formal. Berapa luasan hutan yang akan kita pertahankan,” tambahnya. Sebelumnya, pada Kamis (25/3), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengklaim penurunan laju deforestasi Indonesia setahun terakhir ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
KLHK melaporkan deforestasi netto periode 2019-2020 turun 75,03 persen dengan luasan mencapai 115,45 hektare dari 462,46 ribu hektare pada periode 2018-2019. Angka deforestasi bruto tahun 2019-2020 tercatat seluas 119,1 ribu hektare. Turun dari 465,5 ribu hektare di tahun 2018-2019. Namun jumlah ini masih jauh lebih besar dibanding angka reforestasi 2019-2020 yang hanya mencapai 3,6 ribu, naik 600 ribu hektare dari 2018-2019. Tahun ini, Siti menargetkan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) terhadap 264 ribu hektare kawasan hutan dan lahan untuk menekan laju deforestasi. Ia mengatakan telah menyiapkan bibit 136 juta batang untuk penanaman dan pemeliharaan hutan.
“Kegiatan RHL telah memberikan indikasi penurunan deforestasi dari 3,51 juta hektare di tahun 1996, turun 1,09 juta hektare di 2015 dan 115 ribu hektare ti tahun 2020. Terendah sepanjang sejarah,” tutur perempuan yang dipercaya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai MenLHK sejak periode 2014-2019 itu. Di satu sisi, mengutip dari analisis lembaga Auriga dengan judul “Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Papua”, angka deforestasi sepanjang 2015-2019 masih relatif tinggi meskipun perlahan mengalami penurunan.
Auriga dan 10 lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain pun mendapati ada pergeseran laju deforestasi dari Pulau Kalimantan dan Sulawesi di Indonesia bagian timur dalam beberapa tahun ini. Peningkatan angka penebangan hutan pada periode tersebut juga didapati di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Papua dan lima provinsi lain di Indonesia Timur. Studi juga menemukan terdapat peningkatan laju deforestasi di Papua dan Papua Barat selama era Kepresidenan Jokowi. Dalam 20 tahun terakhir, hutan alam di Papua dan Papua Barat menyusut 666.443 hektare, dimana 71 persennya terjadi pada 2011-2019.
Sumber : cnnindonesia.com
