TNews, NASIONAL – Aksi orang muda dalam peristiwa bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar dan serangan di Mabes Polri Jakarta mengingatkan lagi tentang kewajiban, tugas dan fungsi negara, orang tua dan komunitas pendidik melindungi anak serta remaja dari semua kemungkinan terpapar paham radikal. Ketika para penyesat berpenetrasi mencekoki paham radikal kepada anak dan remaja, negara dan semua komunitas seharusnya bergerak lebih cepat menangkal dan melindungi generasi muda.
Tidak sedikit orang tua maupun pemerhati terhenyak ketika menerima fakta bahwa dua aksi yang berujung pada kematian para pelaku itu dilakoni orang muda dalam kelompok usia generasi milenial. Lahir tahun 1995, penyerang Mabes Polri, ZA, serta bomber Makassar pasangan L-YSF, masih dalam periode usia produktif. Mereka, dengan penuh kesadaran, tidak ingin meraih kehidupan hari esok yang lebih baik di dunia ini, karena tujuan hidup dan pola pikir mereka telah dijungkirbalikan oleh para penyesat. Mereka memilih mengakhiri hidup untuk alasan yang tidak bisa dipahami oleh akal sehat orang kebanyakan. Namun, kendati tidak mengenal mereka secara personal, jutaan orang prihatin dengan pilihan jalan hidup ketiga orang muda itu.
Pilihan jalan hidup ZA dan L-YSF memberi gambaran tentang sebuah dinamika yang sangat kontras jika diperbandingkan dengan komunitas orang muda lain yang seusia dengan ketiganya. Ketika puluhan juta orang muda bergegas untuk beradaptasi dengan perubahan zaman yang ditandai oleh proses transformasi digital saat ini, ketiganya memilih jalan yang berbeda. Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah mengapa ketiganya sampai pada pilihan itu? Dan masih berapa banyak lagi rekan ketiganya yang juga punya pilihan sama?
ZA dan pasangan L-YSF patut menjadi contoh kasus tentang sekumpulan orang muda yang belum mendapatkan perlindungan maksimal dari negara, dari institusi agama dan dari sistem pendidikan. Karena tak terlindungi, ketiganya sejak remaja sudah masuk perangkap penyesat yang mencekoki mereka dengan paham dan pandangan radikal, termasuk pandangan yang membenarkan aksi bunuh diri untuk mencelakai orang lain yang tak bersalah. Saat ini disinyalir tidak sedikit orang muda Indonesia yang sepaham dengan pilihan hidup ZA serta L-YSF. Ini pun menjadi bukti kegagalan negara menangkal sepak terjang para penyesat yang muncul dan berbicara di hadapan banyak orang dengan label atau identitas guru agama maupun pendakwah. Sejumlah kalangan menggambarkan betapa para penyesat telah melakukan penetrasi hingga ke pelosok negeri.
Di banyak forum keagamaan, para penyesat ini gencar menjungkirbalikan akal sehat orang muda dengan pandangan dan paham radikal, membangun kebencian pada siapa saja yang berbeda dan terus menebar rasa permusuhan, termasuk dorongan untuk memusuhi negara dan bangsanya sendiri. Dan yang memprihatinkan adalah penetrasi para penyesat ini bukan gejala atau kecenderungan baru, melainkan fakta yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, tak jarang sangat terbuka sehingga sering diviralkan oleh warganet. Menghadapi kecenderungan seperti itu, negara terkesan pasif atau minimalis. Respons dari institusi agama pun amat minim. institusi pendidikan pun terlihat tak bisa berbuat banyak untuk melindungi orang-orang muda dari paham radikal. Akibatnya memang sangat memprihatinkan.
Kini, sebagian besar masyarakat hanya bisa kecewa pada sejumlah fakta yang tak terbantahkan. Sebab, sepak terjang para penyesat itu telah berbuah dan bertebaran di banyak tempat atau titik strategis. Beberapa penelitian mengungkap bahwa sejumlah kampus sudah terpapar paham radikal. Pada 2018, Badan Intelijen Negara (BIN) juga mengungkap bahwa dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN, 41 rumah ibadah sudah terpapar paham radikal. Data BIN diperkuat oleh temuan GP Ansor tentang kecenderungan yang sama. Hasil investigasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 juga mengungkapkan bahwa sekitar dua juta pegawai BUMN berpotensi terpapar paham radikal.
Karena kecenderungan ini sudah menjadi pengetahuan umum, di ruang publik muncul pertanyaan; mengapa negara dan institusi agama tidak bertindak menghentikan aksi para penyesat? Pertanyaan ini tidak salah. Selain menjadi kewajiban negara dan institusi agama melindungi generasi muda agar terhindar dari paham radikal, negara dan institusi agama pun punya wewenang, undang-undang dan alat. Jika negara dan institusi agama tidak segera berinisiatif, para penyesat akan terus merusak akal sehat orang muda, dan di waktu mendatang akan tampil penerus ZA serta L-YSF untuk beraksi lagi di tempat lain.
Langkah sigap Detasemen Khusus-88 Anti Teror Mabes Polri menyergap para terduga teroris layak diapresiasi. Namun, hasil kerja Densus-88 merupakan respons terhadap sebuah akibat, bukan terhadap sumber masalah. Sedangkan urgensi persoalannya adalah keleluasaan para penyesat mencekoki orang muda Indonesia dengan paham radikal. Para penyesat inilah yang seharusnya menerima respons tegas dari negara dan institusi agama.
Selain mendorong Densus-88 terus mengintai para terduga teroris, negara dan institusi agama hendaknya mulai merumuskan kebijakan atau langkah-langkah untuk menghentikan sepak terjang para penyesat. Mengeliminasi sepak terjang para penyesat jauh lebih strategis. Tidak boleh lagi ada ruang dan panggung bagi para penyesat. Jangan lagi ada pihak atau kelompok oportunis yang coba memberi pembenaran ketika para penyesat merusak dan menjungkirbalikan akal sehat orang muda Indonesia. Hanya negara bersama institusi agama yang berwenang dan bisa menghakhiri sepak terjang para penyesat.
Manakala negara dan institusi agama berhasil mengeliminasi para penyesat, orang muda Indonesia dengan sendirinya dimerdekakan untuk bertumbuh dan berkembang, serta memilih jalan hidup seturut akal sehat masing-masing. Untuk itu, negara harus berbelas kasih dan all out. Jangan biarkan orang muda Indonesia terkungkung paham radikal yang diajarkan para penyesat.
Sumber : detik.com