Tidak ada satupun makhluk yang bisa memilih menjadi apa atau siapa di dunia. Termasuk Shinta Ratri, seorang waria yang menerima jati dirinya utuh, tanpa mengurangi hak bertuhan. Memiliki nama lahir Tri Santoso Nugroho, Shinta seolah telah kebal dengan perlakuan diskriminatif dari orang-orang di sektiarnya. Ia dicibir, dirundung, hingga dipersekusi. Perlahan semua itu sirna sendiri lewat prestasi pribadi Shinta sejak di bangku sekolah. Juga kemandiriannya dalam menghidupi diri.
Lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga pedagang kerajinan di Kotagede, Yogyakarta, sejak SMA Shinta Ratri sudah berwirausaha. Dia berprinsip, melakoni hidup tidak untuk sekedar menyenangkan orang lain. “Sesungguhnya ketika kita menjadi diri sendiri, itu sudah menjadi sesuatu yang paling bahagia. Ketika kita menjadi diri yang disukai orang lain itu adalah penderitaan,” kata Shinta Ratri.Shinta lahir dari keluarga yang kerkecukupan dan berpendidikan. Mereka biasa hidup demokratis. Menjelang lulus SMA, Shinta diajak berdiskusi oleh keluarganya. Ia ditanya apakah akan melanjutkan hidup sebagai waria selamanya. Semula dia marah dan sedih karena merasa diadili. Akhirnya Shinta Ratri berucap bahwa dirinya tidak pernah berdoa untuk menjadi seseorang seperti yang dia jalaninya itu. Dia hanya menjalankan panggilan jiwa sebagai perempuan dan memilih berani mengekspresikannya. Keluarga Shinta pun akhirnya menerima dan memperlakukan Shinta sebagai perempuan hingga saat ini.
Lulus sebagai Sarjana Biologi dari Universitas Gadjah Mada, Shinta memilih profesi sebagai pengusaha kerajinan perak. Dia juga kemudian aktif memberdayakan para waria di lingkungan Yogyakarta. Shinta dipercaya menjadi ketua IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta), lalu dipercaya untuk memimpin Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta. Dalam payung pondok pesantren itu dia bersama puluhan waria lainnya bergerak mencari Tuhan. Mengejar hak mereka untuk beribadah. Mereka mendapatkan bimbingan antara lain dari ustaz Arif Nuh Safri. Selain itu, mereka juga beberapa kali berkunjung ke pesantren lain untuk berbagi pengetahuan.
Selain soal agama, di pesantren ini juga ada kegiatan lain seperti pelatihan membuat kerajinan tangan oleh para mahasiwa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Pada Februari 2016, Pesantren al Fatah sempat digeruduk FJI (Front Jihad Islam). Mereka meminta Shinta dan kawan-kawan bertobat dan kembali menjadi lelaki. Komunitas waria ini juga dituding hendak menyebarkan ajaran sesat, perkawinan sejenis, hingga menjadi tempat mabuk-mabukan berkedok pesantren.
Momen tersebut nyatanya memberikan berkah terselubung bagi mereka. Ustaz Arif dan sejumlah aktivis sosial, Komnas Perempuan, hingga anggota DPR-RI membela dan melawan sikap FJI. Hingga saat ini Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta menjadi tempat bernaung puluhan waria. Terutama bagi mereka yang mengalami keterbatasan untuk berupaya dekat dengan Tuhannya di ruang publik. Betapapun, para waria berhak untuk beribadah, menyembah Tuhan sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.
Sumber : detik.com