TNews, KESEHATAN – Sejumlah anggota DPR hingga mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, menyodorkan diri untuk disuntik Vaksin Nusantara oleh dr Terawan Agus Putranto. Tak hanya mereka, ternyata mantan Menkes era Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Siti Fadhilah Supari, juga memberi dukungan kepada Terawan. Hari ini sekitar pukul 08.00 WIB, Siti Fadilah mengikuti pengambilan sampel darah untuk uji vaksin Nusantara. Dia memberi dukungan pada Terawan meski Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan izin kelanjutan uji klinis Vaksin Nusantara.
“Saya orang tua yang mempunyai komorbid, saya tau tidak bisa dengan vaksin yang ada. Nah ini ada suatu harapan atau kemungkinan bahwa ini lebih personal dan memang harus personal,” kata Siti kepada wartawan, Kamis (15/4/2021). Selain itu, lanjut Siti Fadilah, dirinya ikut melibatkan diri karena mendukung penelitian yang dilakukan dr Terawan. Dia berharap Vaksin Nusantara ini nantinya bisa membawa manfaat bagi bangsa dalam mengatasi pandemi COVID-19. “Kedua saya ingin menghargai saya menghargai pendapat scientis ya, pendapat ilmuan. Makanya saya mendukung penelitian ini. Saya ikut penelitiannya,” ujar Siti.
“Ini penelitian. Bukan vaksinasi, tapi penelitian. Saya menghargai pendapat dr Terawan yang saya sudah kenal. Dia seorang researcher. Nah saya mendukung dengan cara mengikuti penelitian ini. Karena ini baru penelitian,” sambungnya. Riset Vaksin Nusantara ini sendiri kini jadi polemik karena belum memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjalankan proses vaksin di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Berikut ini nama-nama tokoh yang sudah memulai proses vaksin Nusantara:
- Aburizal Bakrie
- Gatot Nurmantyo
- Sufmi Dasco Ahmad
- Emanuel Melkiades Lakalena
- Saleh Daulay
- Adian Napitupulu
- Nihayatul Wafiroh
- Arzetty Bilbina
BPOM belum mengeluarkan izin bagi riset tersebut untuk lanjut ke uji klinis fase II. Kepala BPOM Penny K Lukito menjelaskan penyebabnya karena ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam uji klinis. Mulai dari kaidah penelitian, metode produksi, kualitas bahan, serta bukti manfaat dan keamanannya. Ketika uji klinis dilakukan tanpa mematuhi aturan dan standar yang ada, maka akan ada risiko masalah yang harus ditanggung.
“Jika ada pelaksanaan uji klinik yang tidak memenuhi standar tahapan preklinik, uji klinik, harus memenuhi poin-poin dalam protokol tapi tidak dilakukan, tentunya akan mengalami masalah sendiri. Tahapan-tahap tersebut tidak bisa diabaikan,” kata Penny beberapa waktu lalu. Penny membeberkan alasan pihaknya belum memberikan restu vaksin Nusantara untuk melanjutkan uji klinis. Dalam hearing atau diskusi bersama para peneliti vaksin Nusantara pada 16 maret 2021 lalu, terungkap jumlah KTD dalam uji Fase I mencapai 71,4 persen dari total relawan uji klinis.
Sebanyak 20 dari 28 subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD). Beberapa relawan uji klinis juga mengalami KTD di kategori 3 dengan tingkat keluhan efek samping lebih berat. “Kejadian yang tidak diinginkan pada grade 3 merupakan salah satu kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik,” kata Penny, Rabu (14/4).
Berikut kejadian tidak diinginkan yang dialami para relawan:
- Kejadian tidak diinginkan kategori 3:
- 6 subjek mengalami hipernatremi
- 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN)
- 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol
Kejadian tidak diinginkan kategori 1 dan 2:
– Nyeri lokal
– Nyeri otot
– Nyeri sendi
– Nyeri kepala
– Penebalan
– Kemerahan
– Gatal
– Petechiae (ruam)
– Lemas
– Mual
– Demam
– Batuk
– Pilek dan gatal
Penny juga mengatakan meski terdapat kejadian tidak diinginkan, para peneliti tidak menghentikan proses uji vaksin Nusantara. Ia menjelaskan para peneliti vaksin Nusantara juga tidak memahami proses pembuatan vaksin berbasis sel dendritik karena tak terlibat dalam penelitian.
Sumber : detik.com