TNews, SEJARAH – Perjanjian Salatiga merupakan kelanjutan dari Perjanjian Giyanti, yang berlangsung pada 17 Maret 1757 di Gedung Pakuwon, Kota Salatiga. Jika pada Perjanjian Giyanti wilayah Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, maka pada Perjanjian Salatiga mengharuskan kedua penguasa yakni Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III merelakan sebagian wilayahnya diberikan ke Pangeran Sambernyawa. Perjanjian Salatiga menambahkan satu pihak yakni Raden Mas Said atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Hubungan Raden Mas Said, Hamengkubuwono I, dan Pakubuwono III masih bersaudara dan merupakan keturunan dari Amangkurat IV. Awalnya Raden Mas Said dan Hamengkubuwono atau Pangeran Mangkubumi bekerja sama melawan Belanda setelah keinginan Pangeran Mangkubumi untuk diangkat sebagai raja ditolak Belanda. Namun siasat licik Belanda melalui VOC berhasil memecah kerja sama Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Belanda berhasil menarik Pangeran Mangkubumi ke sisi VOC. Sementara VOC berhasil menghasut Raden Mas Said soal potensi pengkhianatan oleh Pangeran Mangkubumi atas dirinya. Keduanya tercatat bekerja sama kurang lebih 9 tahun.
Pada Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said tidak dilibatkan dan dirinya juga menentang perjanjian itu karena dinilai dapat memecah belah kerajaan dan rakyat Mataram. Dengan bergabungnya Pangeran Mangkubumi atau yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan VOC maka perlawanan Raden Mas Said menjadi tiga lawan satu. Raden Mas Said memberikan perlawanan sengit hingga tiga kubu tersebut belum dapat mengalahkan Raden Mas Said begitu pun sebaliknya. Namun pada akhirnya perlawanan Raden Mas Said berujung pada meminta bagian dari wilayah kekuasaan Mataram yang sebelumnya telah dibagi menjadi dua.
Sadar perang akan berlangsung lama karena keempat pihak sama-sama kuat dan tidak ingin menyerah maka VOC kemudian menawarkan solusi saling menguntungkan. Solusi tersebut berupa pembagian wilayah menjadi tiga kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Tujuan VOC membagi tiga adalah untuk mengamankan kantong finansial sekaligus kekuasaannya di Pulau Jawa. Selain itu, Perjanjian Salatiga pun turut menjadi tanda berakhirnya kekuasaan kesultanan Mataram Islam karena wilayahnya kerajaannya telah terpecah dan memiliki penguasanya sendiri-sendiri.
Setelah mendapat wilayah otonom Raden Mas Said kemudian bergelar Mangkunegara I. Mangkunegara I saat itu mendapat wilayah kekuasaan di Mataram sebelah timur. Wilayah tersebut saat ini mencakup Banjarsari, Karanganyar, Wonogiri, Ngawen, dan Semin. Kini lokasi penandatanganan Perjanjian Salatiga digunakan sebagai kantor Wali Kota Salatiga.
Tokoh di Balik Perjanjian Salatiga
Tokoh di balik Perjanjian Salatiga tidak begitu berbeda dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian Salatiga hanya menambah 1 orang untuk membagi lagi wilayah kekuasaan menjadi tiga bagian. Mereka adalah Sultan Hamengkubuwono I, Sunan Pakubuwono III, VOC, dan Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunegara.
Isi Perjanjian Salatiga
Perjanjian yang mengakhiri perang panjang perebutan kekuasaan membuat para anggota kerajaan Mataram tunduk pada kesetiaan VOC. Berikut isi Perjanjian Salatiga:
- Raden Mas Said diangkat sebagai Pangeran dan memiliki status setingkat raja
- Raden Mas Said tidak diperbolehkan masuk dalam struktur Singgasana
- Raden Mas Said tidak diperbolehkan menggunakan dan memakai atribut kerajaan dan menyelenggarakan acara penobatan raja.
- Raden Mas Said tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
- Raden Mas Said mendapat wilayah kekuasaan seluas 4.000 karya meliputi Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, dan Pajang.
Hasil Perjanjian Salatiga
Hasil Perjanjian Salatiga tentu memberikan dampak pada situasi perebutan kekuasaan antaranggota keluarga Mataram. Secara keseluruhan Perjanjian Salatiga dan Giyanti memberikan kerugian besar kepada Kerajaan Mataram. Dengan hadirnya kedua perjanjian tersebut maka sirna impian Kerajaan Mataram yang ingin menyatukan seluruh kerajaan di Jawa. Di satu sisi VOC sangat diuntungkan karena semakin memiliki pengaruh yang kuat di seluruh Pulau Jawa.
VOC tidak secara langsung bersentuhan dengan ketiga kerajaan tersebut, akan tetapi isi dalam Perjanjian Salatiga yang mengharuskan pengambilan keputusan melibatkan VOC menunjukkan posisi kuat VOC dalam memerintah ketiga kerajaan tersebut. Intrik politik Jawa ini di kemudian hari menimbulkan gejolak baru dengan kemunculan kerajaan lain bernama Kadipaten Pakualam.
Sumber : cnnindonesia.com