TNews, SEHAT – Belum lama ini, vaksinasi COVID-19 DKI Jakarta dikabarkan sudah mencapai lebih dari 100 persen. Namun ahli epidemiolog mengingatkan, persentase tersebut belum menjamin herd immunity lantaran baru mencakup dosis 1.
“Herd immunity ditentukan bukan hanya dari vaksin saja. Termasuk di antaranya jumlah kasus positif dan hasil sero survei DKI 2020 yang lalu. Bukankah menurut penelitinya sudah 49 persen warga DKI memiliki antibodi untuk COVID-19?” ujar ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) dr Masdalina Pane pada detikcom, Senin (23/8/2021).
Sedangkan pada skala nasional, per Minggu (29/8/2021) hingga pukul 12.00 WIB menurut data dari Kementerian Kesehatan, vaksinasi COVID-19 Indonesia mencakup 29,61 persen pada dosis 1 dan 16,74 persen pada dosis 2.
Masih banyak yang susah dapat vaksin Corona
Berdasarkan sejumlah laporan yang diterima detikcom, terdapat sejumlah warga yang terkendala menerima vaksin COVID-19 karena beberapa alasan seperti masalah domisili, nomor ponsel, hingga antrean membludak. Pada beberapa kasus, warga sudah menerima dosis 1 namun ditolak ketika hendak menerima dosis 2.
Misalnya Rinrin asal Subang. Lantaran tak pernah menerima SMS berisi tautan sertifikat dan jadwal vaksinasi sejak suntikan dosis pertama, kedua anaknya sempat ditolak Puskesmas saat hendak menerima dosis kedua.
“Kebetulan waktu proses vaksin saya rekam semua, termasuk kertas skrining. Data yang dimasukkan sudah benar. Nama, NIK, dan nomor telepon sudah di-cross check ulang oleh teman lewat PCare, semua sama dengan yang saya isi di kertas skrining,” ujarnya pada detikcom, Senin (23/8/2021).
“Semua persyaratan sudah saya bawa. KK, Kartu vaksin, sertifikat vaksin dan QR Code jadwal yang saya download langsung dari web PeduliLindungi. Bahkan saya buka juga web PeduliLindungi di depan petugas, saya perlihatkan lagi sertifikat dan jadwalnya, tetap ditolak. Katanya harus ada SMS,” sambungnya.
Dalam kesempatan lainnya, juru bicara vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi menyebut vaksinasi dosis kedua seharusnya bisa dilakukan di Puskesmas paling dekat rumah. Pun tidak ada SMS dari 1199, data warga sudah tersimpan di layanan PCare.
“Seharusnya tidak ada penolakan karena vaksinasi bisa dilakukan di mana saja ya. Bisa menghubungi call centre di 119 ext 9 ya, atau kalau ada situs pelaporan milik Pemda bisa juga dilakukan hal seperti ini,” ujar dr Nadia.
Selain Rinrin, seorang warga Pucangsawit, Yuni mengaku kecewa lantaran sempat dua kali ditolak saat hendak mendapat vaksin di Graha Saba Buana akibat kehabisan stok.
“Saya sudah dua kali ke sini, katanya vaksinnya belum datang. Kecewa, sudah terlanjur ninggal anak. Terus dijanjikan ke sini empat hari lagi,” kata Yuni di sekitar Graha Saba Buana, Rabu (25/8/2021).
Selain itu, Iin asal Mojosongo mengaku sudah berkali-kali datang namun stok vaksin masih belum datang. Mau tak mau, ia ditolak untuk mendapat vaksin COVID-19.
“Di SMS itu tanggal 18, tapi pas tanggalnya, saya disuruh kembali datang tanggal 20. Terus mundur lagi 23 Agustus, kemudian hari ini juga masih kosong,” ujar Iin.
“Saya kan punya usaha, repot kalau ditinggal terus, padahal pesanan lagi banyak. Apalagi nggak ada pemberitahuan,” lanjutnya.
Laporan beda merek dosis 1-2 gara-gara stok terbatas
Dalam kesempatan lainnya, spesialis penyakit dalam dr Andi Khomeini Takdir Haruni, SpPD-KPsi mengaku sempat dapat laporan perihal vaksinasi COVID-19 menggunakan merek berbeda pada dosis 1 dan 2. Hal tersebut disebabkan keterbatasan stok dan distribusi belum merata ke sejumlah wilayah RI.
“Sekitar Maret atau April tahun ini, saya mulai dihubungi teman-teman dari daerah yang menyampaikan problem di daerah mereka. Pada suntikan pertama, mereka menerima Sinovac. Terus pada waktu untuk penyuntikan kedua kita tahu bahwa dosis vaksin kita seperti dicicil, ada tahapan-tahapan, tidak selancar yang dulu kita perkirakan. Mungkin baru sekarang-sekarang ini kita bisa gaspol,” terangnya pada detikcom melalui program e-Life, Jumat (20/8/2021).
“Secara regulasi dari Kementerian Kesehatan jelas di imbauannya jelas aturannya bahwa memang seharusnya sebaiknya jenisnya sama, tapi konteks di lapangan itu yang tersedia kemudian berbeda antara dosis 1 dan 2. Maka itu tidak masalah,” lanjut dr Koko.
Sumber : detik.com