MERDEKA !, Mari Mengenang Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

0
533
Foto Bung Karno saat membacakan Proklamasi Kemerdekaa RI 17 Agustus1945 Foto IPPHOS via PerpustakaanNasional

PROKLAMASI Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dilaksanakan dengan persiapan yang sangat cepat tanpa panitia resmi. Berbagai kalangan tokoh bahkan orang asing, turut membantu terlaksananya proklamasi, mulai dari mempersiapkan hal-hal teknis, seperti tempat pertemuan, tiang bendera dan mikrofon hingga penyebaran berita proklamasi ke seluruh dunia.

Detik-Detik Proklamasi Tanggal 17 Agustus 1945 dimulai pukul 10.00 di Kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta

Teks Proklamasi dibacakan oleh Ir.Soekarno, Pengibar Bendera Merah-Putih Latief Hendraningrat, Soehoed, dan SK Trimurti dan Sambutan Proklamasi oleh Walikota Jakarta Suwirjo dan dr. Muwardi

Karena persiapan yang sangat mendadak, maka tidak ada persiapan untuk tiang bendera yang kemudian diambil dari bambu tiang jemuran. Untuk bendera sendiri adalah hasil jahitan tangan Fatmawati istri Ir. Soekarno dengan kualitas yang sederhana dan tidak standar. Untuk Mikrofon serta pengeras suara disiapkan oleh Wilopo atas perintah Suwirjo Wali Kota Jakarta.

Pengibaran Bendera Pusaka Sang Dwi Warna Merah-Putih usai Pembacaan Teks Proklamasi

Rapat penentuan Proklamasi Kemerdekaan oleh para pemimpin gerakan kemerdekaan di rumah Tadashi Maeda di Jalan Meiji Dori (Jalan Imam Bonjol Nomor 1), Jakarta berlangsung semalaman dan berakhir sekira pukul 03 subuh tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum rapat ditutup, Soekarno menegaskan bahwa hari itu juga, jam 10.00 WIB, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dibacakan di halaman rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.

Segala hal segera dipersiapkan, mulai dari antisipasi keamanan bila muncul upaya penggagalan rencana proklamasi, memperbanyak naskah proklamasi, selebaran, hingga hal-hal teknis seperti peralatan pendukung upacara.

Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia VI edisi 1993, para pemuda tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Masing-masing kelompok mengirimkan kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera diumumkan. Selain itu, mereka juga mencetak selebaran dengan mesin stensil dan disebarkan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh masyarakat.

Chudanco Peta, Latief Hendaningrat beserta anak buahnya ditugaskan untuk berjaga-jaga di sekitar kediaman Soekarno oleh dr. Muwardi. Dilengkapi dengan senjata lengkap mereka diperintahkan segera mengeluarkan tembakan bila tentara Jepang mendadak datang untuk menggagalkan proklamasi.

Di tempat lain, Wali Kota Jakarta, Suwiryo, meminta kepada Wilopo mempersiapkan mikrofon dan peralatan pengeras suara. Peralatan itu akhirnya didapat dari Gunawan, pemilik toko Radio Satria di Salemba Tengah.

Persiapan Proklamasi serba mendadak, termasuk tiang bendera yang belum ada. Sudiro, sekretaris Ahmad Subardjo dan Soekarno, meminta kepada Soehoed, komandan pengawal rumah Soekarno, untuk menyiapkan sebuah tiang bendera.

Mahasiswi Ika Daigaku menghadiri Proklamasi Kemerdekaan17 Agustus 1945, yang terlihat dari kiri ke kanan dr. Oetari Soetarti dekat SK Trimurti kemudian Samsi Sastrawidaga,Fatmawati,dan Soewiryo. Foto Frans Mendur

Di tengah kesibukan itu, Fatmawati, Istri Soekarno, mendengar teriakan bendera belum ada. Mendengar itu, Fatmawati mengeluarkan bendera yang ia simpan di almari kamarnya kemudian diberikan kepada salah seorang pemuda. Bendera Merah Putih ia jahit sendiri saat Guntur masih di dalam kandungan, sekitar satu setengah tahun sebelum proklamasi.

Bendera jahitan tangan Fatmawati itu awalnya tidak dipersiapkan untuk menjadi sebuah bendera. Bahan kainnya tidak bagus, bentuk, dan ukurannya pun tidak standar.

Hatta yang ditunggu

Para pemuda yang sudah berkumpul sejak pagi mulai gelisah. Proklamasi tak kunjung diumumkan. Mereka khawatir tentara Jepang lengkap dengan senjatanya tiba-tiba datang. Para pemuda mendesak Muwardi untuk mengingatkan Soekarno. Ia mengetuk pintu kamar Soekarno dan menyampaikan kegelisahan pemuda. Soekarno menolak untuk segera mengumumkan proklamasi dan tetap menunggu Hatta.

Menurut kesaksian Sudiro dalam Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang (2015), situasi menggelisahkan karena Jepang bisa datang kapan saja. Belum lagi rumor-rumor yang beredar bahwa Hatta tidak ada di rumah. Bahkan, ada kabar bahwa Hatta tidak bersedia turut memproklamasikan kemerdekaan. Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi (1970), Hatta memberikan gambaran hal-hal yang dilakukannya sebelum berangkat ke rumah Soekarno tanggal 17 Agustus 1945. Waktu itu bulan puasa. Sebelum pulang dari rapat kemerdekaan, Hatta mengisahkan makan sahur di rumah Maeda. Karena nasi tidak ada, yang dimakan hanya roti, telur, dan ikan sarden. Setelah pamit dan mengucapkan terima kasih banyak, Hatta pulang dengan membonceng Soekarno.

Sampai di rumah, Hatta tidur dan bangun sekitar setengah sembilan. Hatta bercukur dan bersiap menuju Pegangsaan Timur 56. Kira-kira pukul 10 kurang 10 menit, Hatta berangkat.

Perjalanan dari rumah Hatta ke rumah Soekarno hanya memakan waktu lima menit. Dari sudut pandang Hatta, tidak ada orang yang gelisah menunggu karena mereka tahu ia adalah orang tepat waktu. Menurut Hatta, Soekarno pun tidak khawatir karena ia tahu kebiasaan Hatta.

Suasana kebatinan Hatta bertolak belakang dengan situasi ketegangan di rumah Soekarno. Ketegangan menjelang proklamasi dan kegelisahan pemuda ini digambarkan dalam buku Detik- detik Proklamasi: Saat-saat Menegangkan Menjelang Kemerdekaan Republik (2011).

Dalam pembicaraan dengan Soekarno, Muwardi menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan tidak perlu menunggu Hatta karena sudah ditandatangani olehnya. Dengan nada marah, Soekarno menjawab, “Saya tidak akan mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia jikalau Hatta tidak ada. Jikalau Mas Muwardi tidak mau menunggu, silahkan baca sendiri Proklamasi.”

Tak lama kemudian, terdengar teriakan. Orang-orang yang hadir ribut berseru, “Bung Hatta datang!”

Lima menit sebelum acara dimulai, Hatta yang berpakaian putih-putih menuju kamar Soekarno yang sedang tidak enak badan. Soekarno bangkit menyambut Hatta dan langsung berpakaian. Ia juga mengenakan setelan putih-putih seperti Hatta. Beberapa pemuda menyusul kemudian, memberitahu bahwa segala sesuatu sudah siap.

Proklamasi

Detik-detik bersejarah dimulai. Soekarno-Hatta keluar bersama-sama diiringi Fatmawati. Saat menuju serambi, Soekarno diapit oleh Hatta di sebelah kiri sementara Latief di sebelah kanan. Soekarno-Hatta sudah berada di tempat yang ditentukan. Hadirin berdiri. Latief Hendraningrat menjadi Komandan Upacara.

Di depan sekitar 300 orang, Soekarno menyampaikan pidato dengan pembukaan, “Saudara- saudara sekalian, saya telah minta saudara-saudara yang hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita.” Hari itu, pidato Soekarno lebih berapi-api dari biasanya. Setelah berpidato singkat, teks proklamasi dibacakan.

Saudara-saudara!

Dengan ini, kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami.

Proklamasi.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05.

Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno/Hatta.

Teks Asli Proklamasi Kemerdekaan RI

Beberapa orang tampak mengucurkan air mata. Soekarno dan Hatta bersalaman. Indonesia merdeka.

Upacara penaikan bendera Sang Merah Putih di halaman Gedung Pegangsaan Timur 56 (Gedung Proklamasi). Tampak antara lain Soekarno, Hatta, Latief Hendraningrat (menaikkan bendera), Ny. Fatmawati Soekarno dan Ny. SK Trimurti.

Sepenggal Berita Proklamasi yang dimuat di media massa waktu itu

Pengibaran bendera

Setelah pembacaan naskah proklamasi, dua orang datang membawa baki berisi bendera Merah Putih. Mereka adalah Soehoed dan SK Trimurti. Baki itu kemudian disodorkan kepada Latief Hendraningrat.

Awalnya, Trimurti (istri Sayuti Melik) yang akan mengibarkan bendera. Namun, dia meminta prajurit yang melakukannya. Latief terpilih didampingi Soehoed. Trimurti memegangi ujung bendera yang dijahit Fatmawati (Kompas, 18 Oktober 2011). Mereka bertiga tercatat sebagai pengibar bendera Indonesia untuk pertama kali.

Waktu itu tidak ada protokol yang mengatur pengibaran bendera pusaka. Begitu bendera diterima, Latief maju ke tiang bendera yang sebenarnya adalah bambu untuk jemuran. Tiang itu dimodifikasi dengan ujungnya dipasang kerekan dengan tali kasar.

Sebenarnya, di halaman depan rumah terdapat tiang bendera yang lebih bagus. Namun, para pemuda tidak mau menggunakan tiang bendera yang berhubungan dengan Jepang. Alasannya, sebelum merdeka, bendera Merah Putih boleh dikibarkan asal bersanding dengan bendera Jepang, Hinomaru. Saat merdeka, para pemuda tidak rela pengibaran bendera Merah Putih beraroma Jepang.

Momen yang dinanti pun tiba. Bendera Sang Merah Putih dikerek oleh Latief. Untuk pertama kali, Merah Putih berkibar sendiri tanpa didampingi bendera lain.

Dalam buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang (2015), Latief menjelaskan, pengibaran bendera Merah Putih diiringi semua hadirin dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Lagu yang dinyanyikan adalah yang dengan refrain, “Indonesia Raya, merdeka, merdeka.”

Setelah pengibaran bendera, upacara dilanjutkan dengan sambutan dari Wali Kota Jakarta, Suwirjo, dan dr. Muwardi.

Selepas Momen Bersejarah

Setelah pengibaran bendera, Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menceritakan, mereka duduk-duduk kira-kira setengah jam. Setelah itu Hatta pulang. Di rumah, sanak saudara sudah menunggu. Semua terharu dan memberi selamat Indonesia Merdeka.

Sebelum Hatta pulang, Sudiro menceritakan bahwa sepasukan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh S. Brata (wartawan) datang terlambat. Mereka minta agar Proklamasi diulangi lagi, tetapi Soekarno menjawab bahwa Proklamasi hanya berlaku sekali saja, tetapi akan berlangsung selamanya.

Karena masih agak sakit, Soekarno masuk ke kamarnya lagi. Tak lama kemudian, apa yang dikhawatirkan pemuda hampir terjadi. Beberapa pembesar Jepang datang dan ingin menemuinya.

Sudiro menyampaikan kedatangan Jepang kepada Soekarno yang kemudian keluar menemui mereka dengan berdiri. Beberapa puluh orang anggota Barisan Pelopor yang mengelilingi mereka telah siap bertindak kalau sampai terjadi sesuatu.

Salah seorang Jepang menyatakan membawa perintah dari kantor pusat pemerintahan militer Jepang (Gunseikanbu) untuk melarang proklamasi. Dengan tenang, Soekarno menjawab, “Proklamasi sudah kami ucapkan.” Utusan Gunseikanbu segera meninggalkan tempat itu.

Penyebaran berita proklamasi

Kliping sepenggal Berita Proklamasi yang dimuat di media massa Koran SOEARA ASIA

Sejak Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu, siaran radio luar negeri sudah dilarang. Yang masih mengudara adalah siaran dalam negeri. Siaran dalam negeri pun mendapat penjagaan ketat sehingga butuh perjuangan untuk menyiarkan berita proklamasi.

Menurut kesaksian Jusuf Ronodipuro yang waktu itu bekerja di Radio Militer Jepang, semua pintu studio dikunci oleh Jepang pada tanggal 15 Agustus tahun 1945 setelah Jepang menyerah. Pegawai yang berada di kantor tak boleh keluar. Pihak Jepang juga menutup acara siaran luar negeri (Kompas, 11 September 1996).

Dampak dari kekalahan Jepang juga terlihat dari siaran radio. Sepanjang hari sejak tanggal 16 Agustus 1945, studio tersebut terus menyajikan acara hiburan.

Menjelang senja 17 Agustus 1945, Sjachrudin, wartawan kantor berita Domei, menyelundup ke ruang penyiar. Ia berhasil masuk setelah melompati tembok belakang dari Tanah Abang.

Sjachrudin membawa dua lembar kertas, salah satunya berisi teks lengkap Proklamasi Kemerdekaan. Lembar satu lagi adalah surat Adam Malik yang berisi permintaan agar lembar teks proklamasi dibacakan sebagai berita.

Permintaan Adam Malik tidak mudah diloloskan karena siaran lokal terus dipantau pasukan Jepang. Ronodipuro dan teman-teman di bagian teknik berunding dan memutuskan untuk menggunakan pemancar siaran luar negeri yang sudah tak digunakan.

Sesuai rencana, tepat pukul tujuh malam, warta berita dimulai seperti biasa. Ronodipuro dengan tenang membacakan berita seputar Proklamasi Kemerdekaan. Naskah lengkap Proklamasi Kemerdekaan versi Indonesia dibacakan oleh Jusuf Ronodipuro, sementara terjemahannya dalam Bahasa Inggris dibacakan oleh Soeprapto.

Pembacaan siaran ini disiarkan ke seluruh penjuru Indonesia. Agar tidak ketahuan, pengeras suara di dalam studio telah diatur agar menyiarkan warta berita versi resmi. Petugas keamanan di

studio yang mengawasi situasi mengangguk-angguk mendengar berita resmi. Mereka tidak tahu, dalam waktu yang sama, berita kemerdekaan Indonesia menyebar luas di angkasa.

Sekitar dua jam berselang, satu regu polisi militer Jepang (Kempetai) langsung menyerbu ke dalam studio. Jusuf dan redaktur pemberitaan, Bachtar Lubis pun dihajar habis-habisan hingga sebuah samurai siap ditebaskan ke kepala mereka. Beruntung, begitu samurai akan mengayun, Pimpinan Umum Radio Jepang masuk. Para aktor di balik penyebaran berita proklamasi pun selamat. Namun, sejak itu siaran radio dihentikan sama sekali oleh Jepang.

Di tempat lain di Jakarta, para pemuda meneruskan penyebaran berita proklamasi dengan membuat pemancar baru. Mereka mengambil alat pemancar dari kantor berita Domei bagian demi bagian. Pemancar tersebut didirikan di markas pemuda Menteng Nomor 31. Berita proklamasi diteruskan melalui pemancar tersebut.

Foto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur dimuat pertama kali di harian Merdeka tanggal 20 Februari 1946, lebih dari setengah tahun setelah pembuatannya.

Foto Mendur

Foto Koleksi Museum Mendur di Kawangkoan Minahasa

Di samping disebarkan lewat selebaran dan siaran radio, peristiwa proklamasi sempat diabadikan lewat foto oleh Frans Soemarto Mendur. Dengan kamera Leica, Mendur berhasil mengambil gambar ikonik hitam putih, Soekarno membaca naskah proklamasi di depan sebuah mikrofon, Hatta berdiri di sisi kirinya, Latief di sisi kanan, dan beberapa orang lainnya di latar belakang (Kompas, 19 Agustus 2019).

Mendur Bersaudara Pengabadi Momen Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

Selama persiapan proklamasi, karena tegangnya situasi, Latief lupa menghubungi RM Sutarto, kepala bagian perfilman Kantor Penerangan dan Propaganda Jepang untuk mengabadikan proklamasi. Namun, Frans dan kakaknya, Alexius Impurung Mendur, yang menjabat kepala bagian foto kantor berita Domei, berada tepat pada momen proklamasi.

Semua berawal dari Frans, wartawan foto Asia Raya, yang mendapat kabar dari seorang wartawan Jepang pada malam hari tanggal 16 Agustus 1945. Wartawan Jepang itu mengabarkan bahwa Soekarno akan memproklamasikan kemerdekaan RI di kediamannya. Kabar tersebut juga didengar oleh Alex. Pagi harinya, Mendur bersaudara bergegas ke Pegangsaan Timur Nomor 56 dengan menenteng kamera secara sembunyi-sembunyi.

Tepat pukul 10.00 WIB momen yang ditunggu tiba. Soekarno mengeluarkan secarik kertas dan mulai membacakan teks proklamasi. Frans dan Alex mengabadikan momen itu dengan kamera masing-masing, termasuk momen pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat.

Usai prosesi pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera merah putih, Alex dan Frans langsung bergegas menyelamatkan diri. Frans menguburkan roll film negatif hasil jepretannya di belakang kantor koran Asia Raya di Hayam Wuruk. “Jadi menjelang malam, dia (Frans) ambil lagi dan dibawa ke laboratorium foto di sebelah kantor Domei, sama dia cuci diam-diam di sana. Kalau sampai ketahuan, ya habis lah. Karena (foto) Alex sudah keburu dirampas dan dihancurkan oleh Jepang,” ungkap Asep.

Kamera milik Alex terkena sweeping tentara Jepang di tengah jalan. Dari jarak 50 meter, Frans melihat kamera milik kakaknya dirampas dan dihancurkan tentara Jepang yang kesal. Frans langsung secepat kilat mengeluarkan roll filmnya dan menyembunyikan di halaman belakang kantornya. Ia langsung memasukan roll film baru ke dalam kameranya. Frans pun tak luput di-sweeping tentara Jepang. Tapi di dalam kameranya sudah berisi roll film yang kosong.

Monumen Mendur Bersaudara di Kampung Halaman Kota Kawangkoan Minahasa

“Yang disita itu film (negatif) baru yang tidak ada apa-apanya alias kosong, belum ada foto. Jadi Frans Mendur sudah tahu, dia punya kakak disita kameranya. Dia buru-buru menggali tanah, mengubur roll film,” ungkap Pierre Mendur, salah satu kerabat Alex/Frans Mendur, kepada detikX, Minggu, 16 Agustus 2020.

Pierre mengatakan, apa yang dilakukan leluhurnya itu sebagai upaya menyelamatkan bukti-bukti pengambilan gambar teks proklamasi Republik Indonesia. Hal itu menjadi bukti kepada dunia bahwa Indonesia sudah merdeka. “Baru enam bulan kemudian foto milik Frans Mendur yang isinya Sukarno membacakan proklamasi itu diberitakan di Harian Merdeka. Jadi, foto itu baru tersebar ke publik enam bulan kemudian,” tutur Pierre.

Foto proklamasi kemerdekaan RI milik Frans Mendur pertama kali diterbitkan melalui Harian Merdeka besutan BM Diah. Saat itu, Alex dan Frans Mendur sudah pindah ke harian tersebut. Kemudian, Redaktur Pelaksana Merdeka, Rosihan Anwar, menugaskan wartawannya membuat laporan khusus tentang‘Peringatan Enam Bulan Republik Indonesia. Foto Bung Karno yang tengah membacakan teks proklamasi dimuat dalam tulisan berjudul Soeasana Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timoer tanggal 19 Februari 1946.

Lalu foto Bung Karno-Hatta yang menyaksikan pengibaran bendera merah putih oleh Latief Hendradiningrat (anggota PETA) dalam tulisan Pemerintah Republik Menghadapi Pers Internasional tanggal 20 Februari 1946. “Jadi foto proklamasi pada terbitan Februari 1946 itu kemudian dibikin essai-nya di Merdeka. Yang menulis kalau nggak salah Pak D. Bassa, wartawan seniornya Merdeka,” ujar Oscar Motuloh, Direktur Eksekutif Museum dan Galeri Foto Jurnalistik ANTARA kepada detikX, Sabtu, 15 Agustus 2020.

Alex, dan khususnya Frans Mendur ketika itu, memotret proklamasi dengan menggunakan kamera merk “Leica”, yang saat itu sudah tergolong modern dan mahal harganya. Kamera itu mereka dapatkan ketika bekerja magang di koran berbahasa Belanda, Java Bonde. Usai kemerdekaan, Alex-Frans ikut BM Diah dan Ahmad Tjokroaminoto mendirikan Harian Merdeka. Setahun kemudian, Mendur bersaudara bersama Umbas bersaudara (Nyong atau Ferdinand Frans Umbas dan Justus Kopit Umbas), Alex Mamusung, dan Oscar Ganda mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) atau kantor berita foto Indonesia tanggal 2 Oktober 1946 di Jalan Hayam Wuruk No. 30.

“Mereka (Alex dan Frans Mendur) zaman Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) mendapatkan bintang Maha Putra kalau tidak salah. Cuma menurut saya, ya Mendur bersaudara ini layak dijadikan pahlawan nasional. Nggak ada dia, nggak ada bukti Indonesia merdeka. Kalau kata anak sekarang kan no picture hoax ya…ha-ha-ha,” ucap Oscar.

Oscar mengaku sempat melakukan riset bersama Yayasan Bung Karno untuk meneliti seberapa banyak foto-foto proklamasi saat itu. Dari usia Indonesia merdeka hampir 70-an tahun baru menemukan 13 foto seputar proklamasi kemerdekaan, termasuk memastikan apakah foto-foto itu benar lokasinya di Pegangsaan Timur atau bukan. “Jumlah fotonya sekarang ada 13. Foto-foto sekitar proklamasi saja, karena yang kita kenal kan paling hanya ada empat atau lima gambar ya. Jadi kita masih lacak terus tuh, mudah-mudahan sih ketemu,” pungkas Oscar. (Sumber Tulisan kompas.id dan detik.com/ist)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.