TNews, NASIONAL – Sidang judicial revie UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi persidangan yang cukup menguras waktu dengan reli panjang. Salah satunya menghadirkan para profesor hukum untuk membedah UU tersebut.
Di antaranya adalah guru besar Unpadj Bandung, Prof Gede Pantja Astawa dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof M Fauzan. Keduanya adalah ahli yang dihadirkan oleh DPR. Para profesor itu beradu argumen dengan para hakim konstitusi yang juga sama-sama profesor hukum.
Salah satu perdebatannya adalah cara menyusun UU Cipta Kerja yaitu dengan model omnibus law. Cara ini menjadi perdebatan yang panjang karena Indonesia sudah memiliki UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
“Tapi karena saya tergelitik oleh pernyataan Prof Pantja Astawa. Saya mohon klarifikasi. Tadi Prof mengatakan model pembentukan undang-undang dengan omnibus law ini, itu bisa dikategorikan sebagai konvensi. Nah, kira-kira ini dalil baru dari mana bisa membenarkan ini, Prof? Menganggap ini sebagai konvensi ketatanegaraan?” kata hakim konstitusi Saldi Isra sebagaimana dilansir dalam risalah sidang MK, Kamis (14/10/2021).
Saldi yang juga Profesor hukum tata negara Universitas Andalas Padang itu menyitir pendapat Ismail Suny. Yaitu peralihan sistem pemerintahan presidensial ke parlementer tahun 1945 tanpa mengubah konstitusi, dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan dengan prinsip express agreement. Namun hal itu kemudian menjadi polemik yang tidak berkesudahan.
“Karena apa? Kita sudah ditanamkan konvensi ketatanegaraan itu adalah untuk mengisi kekosongan yang tingkatnya sama dengan konstitusi, tapi tidak diatur dalam konstitusi,” kata Saldi.
“Nah, ini soal pembentukan undang-undang sudah ada undang- undangnya, bagaimana secara akademik kita bisa menerima argumentasi bahwa ini konvensi? Jangan-jangan selama saya jadi hakim MK, ada teori-teori baru terkait ini?” sambung Saldi.
Senada dengan Saldi, hakim konstitusi Wahiduddin Adams juga menyoroti strategi omnibus law. Apakah bagian dari strategi jalan cepat atau jalan pintas. Sebab sudah ada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
“Sebab kalau kebutuhan-kebutuhan harus selalu jalan pintas, tanpa ada pedoman dan batasan-batasan, bukankah kita nanti akan terjebak pada budaya yang saya sebutkan pada waktu lalu, membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Pedoman itu ada batasan- batasannya, nah kita ini belum ada batasan-batasannya,” kata Wahiduddin.
Sumber : detik.com