TNews, NASIONAL – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi UU. Dengan begitu, segala aturan yang berada di dalamnya bisa dijalankan mulai tahun depan.
Persetujuan diambil dalam rapat paripurna DPR RI ke-7 masa persidangan I tahun sidang 2021-2022 yang digelar hari ini. Dari perwakilan pemerintah dihadiri langsung oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang hadir virtual.
“Saya menanyakan kepada seluruh anggota dewan apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disahkan menjadi UU?,” tanya Muhaimin di ruang rapat paripurna, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
“Setuju,” jawab anggota Dewan, kemudian diikuti ketuk palu pimpinan.
Berdasarkan laporan Komisi XI DPR RI, Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PAN, PKB, PPP, dan PKB menyetujui RUU HPP menjadi UU. Sementara Fraksi PKS tidak setuju.
UU HPP terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. Dengan adanya aturan ini, sejumlah aturan pajak mengalami perubahan. Dirangkum detikcom, berikut sejumlah poinnya:
1. Tarif PPh 35% Bagi Pendapatan di Atas Rp 5 M
Pemerintah menambah layer baru untuk tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Salah satu ketentuan ini adalah pengenaan tarif PPh sebesar 35% bagi orang yang memiliki penghasilan di atas Rp 5 miliar.
Tarif PPh itu naik 5% dibanding yang berlaku saat ini yakni sebesar 30% untuk penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun. Artinya, ini adalah aturan baru yang berlaku bagi orang kaya di dalam negeri.
Selain itu, penghasilan kena pajak untuk lapisan pertama yang dikenakan tarif 5% diubah, dari tadinya hingga Rp 50 juta per tahun menjadi Rp 60 juta per tahun.
2. PPN Naik Jadi 11%
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 11% mulai 1 April 2022. Untuk diketahui, saat ini tarif PPN yang berlaku sebesar 10%.
Selanjutnya, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. “PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%,” bunyi pasal 7 ayat (3).
3. PPh Badan Tetap 22%
Pemerintah batal menurunkan tarif PPh Badan atau perusahaan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) menjadi 20%. Tarif PPh Badan di tahun depan akan sama seperti tarif tahun ini yakni sebesar 22%.
“Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022,” tulis Pasal 17 ayat (1) draf UU HPP.
4. Tax Amnesty
Pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II yang bernama Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak akan berlaku mulai 1 Januari 2022. Nantinya, wajib pajak bisa menyampaikan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 kepada Dirjen Pajak melalui Surat Pernyataan.
Dalam Pasal 6 draf RUU HPP tersebut, wajib pajak bisa menyampaikan surat pernyataan itu kepada otoritas pajak sejak 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.
“Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022,” tulis Pasal 6 ayat (1) draf tersebut.
5. Pajak Karbon
Pemerintah akan menerapkan pajak karbon yang tarifnya sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ini dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
“Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara,” bunyi draf UU tersebut dalam Bab VI Pasal 13 ayat (9).
Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon yang dimaksud yakni memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya. Sedangkan kebijakan peta jalan pajak karbon adalah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR RI.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
“Penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim,” bunyi Pasal 13 ayat (11).
Sumber: detik.com