TNews, SEJARAH – Arca Prajnaparamita pertama kali diketahui keberadaannya pada tahun 1818 atau 1819 oleh D. Monnereau, seorang aparat Hindia Belanda. Pada tahun 1820 Monnereau memberikan arca ini kepada C.G.C. Reinwardt, yang kemudian memboyongnya ke Belanda. Arca ini menjadi koleksi Rijksmuseum voor Volkenkunde di kota Leiden.
Pada Januari 1978 Rijksmuseum Voor Volkenkunde (Museum Nasional Etnologi) mengembalikan arca ini kepada Indonesia, dan ditempatkan di Museum Nasional Jakarta hingga kini.
Arca Prajna Paramita yang asli ditempatkan di lantai 2 Gedung Arca, Museum Nasional Jakarta. Sedang arca yang di lantai 4 museum adalah replika. Walau replika tidak boleh dipotret.
Sejarawan dan diplomat University of British Columbia, Kanada, Prof Paul Drake tertarik karena terpesona oleh wujud fisik (patung) Prajna Paramita yang sensual dengan puting payudaranya. “Saya berkali-kali bertemu Prajna Paramita dan saya bertekad mempelajarinya,” katanya.
Arca yang dipahat sempurna dan sangat indah ini disebut sebagai penggambaran kecantikan wanita jawa kuno.
Sejarawan Suwardono dalam bukunya Tafsir Baru Ken Angrok mengatakan, kriteria menempatkan perempuan dalam tipe tertentu awalnya bersumber dari India.
Naskah mengenai kriteria perempuan itu tidak ditemukan, namun pada masa itu ketentuan untuk menempatkan sosok perempuan pada tipe tertentu secara umum telah dikenal.
Penggambaran perempuan jawa juga dituliskan di prasasti Kayumwunan (824 M) menyebut Pramodyawarddhani, permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang (Mataram Kuno) cara berjalannya seperti angsa, suaranya bagaikan tekukur, matanya bagaikan menjangan. Ciri ini lebih mirip dengan tipe padmini.
Padmini memiliki ciri fisik di antaranya matanya seperti mata kijang dengan ujung-ujung kemerahan, hidungnya kecil dan bentuknya bagus, wajahnya bagaikan bulan purnama yang keemasan seperti bunga cempaka, lehernya halus dan luwes buah dada yang penuh dan tinggi.
Pusarnya dikelilingi tiga garis lipatan; kulitnya halus seperti kelopak bunga sirsa, suaranya manis mengalun, kalau jalan seperti angsa; wataknya pemalu, menyenangkan, pemurah, setia, memiliki rasa keagamaan, dan bertingkah terhormat.
Dalam Prasasti Pucanan (1037 M). Prasasti melukiskan Sri Isanatunggawijaya bagaikan seekor angsa yang mempesona karena tinggal di telaga Manasa yang suci.
Masyarakat masih menganggap Prajna Paramita sebagai Ken Dedes, namun ada pendapat berbeda, bahwa patung afalah Gayatri, istri Raden Wijaya.
Sejarawan UI Agus Aris Munandar dalam buku “Aksamala: Untaian Persembahan untuk Ibunda Prof Dr Edi Sedyawati (2003) dan Rahardjo S (2002) Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno” menunjuk lokasi Prajna Paramita berasal dari kompleks Candi Singosari (di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sekarang), cocok jika diidentikkan dengan Gayatri.
Pada era Ken Dedes, lokasi Kerajaan Singosari bukan di Singosari, melainkan di lokasi yang masih diperdebatkan diantara Gunung Buring sekarang (sekitar 20 km barat Kota Malang).
Dituliskan Agus Arismunandar ,Gayatri setelah meninggal dibuatkan arca Prajna Paramita dan didharmakan di Prajnaparamitapuri (suatu tempat) di Bhayalangu. Ini bisa ditafsirkan merujuk pada Kecamatan Boyolangu di Kabupaten Tulungagung masa kini.
Sumber : okezone