TNews, WISATA – Survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama komunitas mahasiswa pecinta alam pada 2016 menunjukkan terdapat 453 ton sampah di delapan destinasi wisata taman nasional.
Sampah itu dihasilkan oleh oleh 150.688 pengunjung setiap tahun. Dari jumlah sampah tadi, sebanyak 53 persen tergolong sampah plastik yang sulit terurai.
Pada 2018, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI mencatat banyaknya sampah laut di 18 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlahnya 0,27 sampai 0,59 juta ton per tahun.
“Survei dan data itu menggambarkan masalah sampah perlu ditangani bersama untuk mempertahankan keberlangsungan destinasi wisata,” kata Senior Campaign Executive Waste4Change Tantin Yasmine dalam keterangan tertulis.
“Pariwisata merupakan sektor prioritas pendorong kemajuan ekonomi nasional yang siap bangkit pasca-pandemi Covid-19.”
Koordinator Pengembangan Kawasan Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, M. Tidar Hetsaputra mengatakan, sampah akan tetap ada di suatu tempat atau destinasi wisata tak peduli pandemi Covid-19 atau tidak.
Dia mencontohkan kawasan pantai Kuta, Bali, yang merupakan destinasi wisata populer menjadi sepi selama pagebluk. Namun demikian, sampah di pantai itu tetap ada. “Sampahnya bisa berton-ton di pantai. Sampah itu bukan dibawa oleh wisatawan, tetapi karena siklus angin barat,” katanya.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menurut dia, telah mengeluarkan kebijakan sebagai pedoman pengembangan pariwisata berkelanjutan, termasuk inisiasi pengelolaan sampah plastik di destinasi wisata bahari.
Founder Bumi Journey Jessica Novia mengatakan, popularitas destinasi wisata berbanding lurus dengan produksi sampah. Banyaknya sampah ini, menurut dia, menimbulkan dampak jangka panjang lainnya yang harus diwaspadai, yaitu emisi karbon.
“Industri pariwisata berkontribusi sebanyak 8 persen pada emisi global,” ujarnya. Belum termasuk sampah yang dihasilkan dari berbagai produk, makanan dan minuman, serta agrikultural di kawasan wisata.
Porsi terbesar emisi berasal dari transportasi di area wisata sebanyak 49 persen. Jessica mengingatkan, tingginya emisi karbon dari industri wisata berdampak pada pemanasan global dan dapat menghancurkan industri pariwisata itu sendiri.
Contohnya fenomena coral bleaching akibat suhu dan naiknya kadar keasaman air laut. “Saat coral atau terumbu karang mati, potensi pariwisata menurun dan jumlah wisatawan yang datang akan berkurang,” katanya.
Sumber : tempo.co