Begini Sejarah Asal Muasal BBM

0
405
ilustrasi

TNews, SEJARAH – Harga BBM Pertamax di semua SPBU Pertamina sudah disesuaikan menjadi Rp 12.500/liter, dan di beberapa daerah Rp 13.000/liter. Kenaikan harga yang dilakukan PT Pertamina (Persero) ini menyesuaikan naiknya harga minyak mentah dunia.

Sudah tahu asal muasal BBM Pertamax?

Mengutip laman resmi Pertamina, Pertamax pertama kali diluncurkan pada 10 Desember 1999. Lahirnya Pertamax menggantikan eksistensi Premix (1994) dan Super TT (1998) yang mengandung unsur Methyl Tertra Butyl Ether (MTBE) yang kurang ramah lingkungan.

Pertamax merupakan bahan bakar bensin dengan kadar oktan minimal 92 berstandar internasional. Kendaraan yang sangat direkomendasikan untuk menggunakan Pertamax adalah yang memiliki kompresi rasio 10:1 hingga 11:1, atau kendaraan berbahan bakar bensin yang menggunakan teknologi setara dengan Electronic Fuel Injection (EFI).

Dengan ecosave technology, Pertamax diklaim mampu membersihkan bagian dalam mesin (detergency).

Pertamax juga dilengkapi dengan pelindung anti karat pada dinding tangki kendaraan, saluran bahan bakar dan ruang bakar mesin (corrotion inhibitor), serta disebut mampu menjaga kemurnian bahan bakar dari campuran air sehingga pembakaran menjadi lebih sempurna (demulsifier).

Sejalan dengan naiknya harga Pertamax, pemerintah memutuskan bahwa Pertalite atau BBM RON 90 menjadi jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), alias BBM bersubsidi. Singkatnya, status Pertalite akan seperti Premium yang distribusinya diatur di wilayah penugasan dan dalam penyalurannya Pertamina bakal diberikan kompensasi.

BBM Pertalite sendiri lahir sejak 2015. Kabar peluncurannya sudah santer terdengar dari April tahun tersebut. Semula, dijelaskan Ahmad Bambang yang kala itu menjabat Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang, Pertalite rencananya diluncurkan Mei.

Hal itu dia sampaikan dalam paparan rencana peluncuran produk baru, saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, 22 April 2015.

Pertamina kemudian membatalkan penjualan Pertalite pada Mei 2015. Pembatalan tersebut terkait dengan sikap pemerintah soal harga Pertalite yang lebih mahal dari bensin Premium.

Menteri BUMN Rini Soemarno kala itu menjelaskan dirinya bersama Menteri ESDM telah sepakat agar Pertamina mengkaji ulang peluncuran bensin Pertalite. Alasannya Pertamina tidak boleh berhenti menjual atau memproduksi bensin Premium bila harga Pertalite masih di atas Premium.

“Silakan perkenalkan Pertalite tapi kalau Pertalite lebih mahal maka Premium harus tetap tersedia,” kata Rini saat berbincang di Kementerian BUMN, Jakarta pada 7 Mei 2015.

Rini menjelaskan pemerintah tidak ingin membebani masyarakat dengan jalan menghapus Premium namun harga BBM jenis baru sebagai pengganti jauh lebih mahal.

Dwi Soetjipto yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina menyatakan pihaknya harus menyiapkan serangkaian uji produk.

Akhirnya Pertalite resmi diluncurkan pertama kali pada 24 Juli 2015, di SPBU 31.1.02.02 Abdul Muis, Jakarta Pusat. Kala itu bahan bakar dengan RON 90 ini telah tersedia di 110 SPBU di Kota Jakarta, Bandung dan Surabaya.

Awalnya Pertamina hanya melakukan uji pasar di balik peluncuran Pertalite untuk mengetahui respon konsumen terhadap produk barunya. Apabila konsumen memberikan respon yang cukup positif maka Pertamina akan melakukan tahapan-tahapan selanjutnya. Pada akhirnya Pertalite berhasil bertahan hingga saat ini.

Bagaimana dengan BBM Premium?

Bicara soal BBM Premium yang selama ini disubsidi, perlu diketahui bahwa sejak awal kemerdekaan, subsidi telah menjadi ciri umum dalam perekonomian Indonesia. Demikian disebutkan dalam tulisan yang dipublikasikan International Institute for Sustainable Development (IISD), berjudul Lessons Learned from Indonesia’s Attempts to Reform Fossil -Fuel Subsidies.

Tulisan yang dibuat oleh Christopher Beaton dan Lucky Lontoh itu, menyebutkan pada tahun 1965, subsidi BBM saja menyerap 20% dari total penerimaan negara.

Kemudian, ketika kekuasaan sementara diberikan kepada Jenderal Suharto yang akhirnya menjadi presiden pada tahun 1968, subsidi tetap berlanjut.

Bahkan setelah banyak pengendalian harga dihapus pada bulan Oktober 1966, pemerintah terus menjaga harga produk minyak bumi, tenaga listrik, transportasi perkotaan dan air minum.

Dalam rencana pembangunan lima tahun pertama Orde Baru, yakni REPELITA 1969-1974, subsidi terutama digunakan untuk mendukung kebijakan ekonomi makro yang bertujuan untuk memulihkan stabilitas sosial dan politik.

Upaya Orde Baru untuk memulihkan stabilitas ekonomi berhasil, dan Indonesia menikmati keuntungan besar dan pertumbuhan tinggi pada tahun-tahun setelah embargo minyak 1973-74 dan selama era “Oil Boom” awal 1980-an. Selama periode ini, peran perusahaan minyak negara Indonesia, Pertamina, sangat penting dalam pengelolaan kekayaan sumber daya bahan bakar fosil negara.

Di bawah tekanan internasional dan domestik, Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998, yang secara efektif menandai berakhirnya Orde Baru. Subsidi, bagaimanapun, tidak akan begitu mudah dicabut. Pada tahun anggaran 1998-1999 diperkirakan telah mencapai hampir seperempat dari anggaran pemerintah.

Menyusul jatuhnya rezim Soeharto, sejumlah upaya telah dilakukan untuk merestrukturisasi sektor perminyakan dan ketenagalistrikan serta mereformasi subsidi energi di Indonesia.

Antara tahun 2000 dan 2003, Bank Dunia mendokumentasikan sejumlah kenaikan harga produk minyak yang ditetapkan pemerintah.

Pada bulan Oktober 2000, harga bensin dinaikkan 15%, solar 9% dan minyak tanah 25%. Ini diikuti oleh demonstrasi besar-besaran yang tidak berjalan kondusif. Insiden termasuk pembakaran pompa bensin di Medan, protes mahasiswa di kota Makassar Sulawesi Selatan, penculikan dua pegawai pemerintah daerah dan pemogokan oleh pekerja angkutan umum.

Terkait kebijakan tersebut, pemerintah berjanji bahwa penghematan anggaran akan digunakan untuk membantu rumah tangga berpenghasilan rendah.

Pada bulan April 2001, harga bahan bakar untuk industri besar, yang mewakili sekitar 23% pasar, dinaikkan menjadi 50% dari harga pasar internasional.

Kemudian pada bulan Juni 2001, harga bensin dinaikkan 26%, solar 50% dan minyak tanah 14%, untuk rumah tangga, transportasi lokal dan PLN.

Pada bulan Januari 2002, Keputusan Presiden mengumumkan niat untuk mengurangi subsidi bahan bakar secara bertahap, yang bertujuan untuk menetapkan harga bensin pada 100% dari harga pasar internasional dan 75% untuk harga minyak solar otomotif, minyak solar industri dan bahan bakar minyak, dalam batas-batas tertentu, baik untuk pengguna rumah tangga maupun industri, berdasarkan harga grosir bahan bakar grosir Mid Oil Platt Singapore.

Kenaikan harga pada tahun 2003 ditentang keras. Analis mengaitkan hal ini dengan kepercayaan di antara para pengunjuk rasa bahwa berbagai keputusan pemerintah berpihak pada kelompok kepentingan yang kuat, serta ketidakpuasan umum dengan korupsi dan inefisiensi politik. Pada akhirnya, kenaikan harga solar dipangkas kembali dari semula 21,9% menjadi kenaikan harga 6,5%.

Pada tahun 2004, Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Indonesia juga menjadi net importir minyak untuk pertama kalinya pada tahun tersebut. Pengeluaran untuk subsidi bensin, solar dan minyak tanah pun tembus sebesar US$ 8 miliar.

Pada tahun 2005, kekhawatiran atas meningkatnya tekanan yang diakibatkan oleh subsidi bahan bakar pada anggaran negara menyebabkan pemerintah menaikkan harga bahan bakar, yakni pada bulan Maret dan sekali lagi pada bulan Oktober dengan rata-rata masing-masing 29% dan 114%, mengurangi defisit anggaran negara Indonesia sebesar US$ 4,5 miliar pada tahun 2005 dan US$ 10 miliar pada tahun 2006.

Keputusan Presiden mengumumkan bahwa subsidi bahan bakar yang tersisa akan dihapus, tetapi tidak menentukan jangka waktu pelaksanaannya. Pada bulan Oktober, harga juga dinaikkan ke tingkat pasar internasional untuk industri, dan diumumkan bahwa perubahan harga bahan bakar di masa mendatang akan dilakukan di tingkat menteri dan bukan di tingkat Presiden.

Pada tahun 2007, Rencana Aksi Nasional Indonesia untuk Mengatasi Perubahan Iklim mengakui bahwa subsidi bahan bakar fosil mendorong pemborosan dan inefisiensi, serta merusak pengembangan energi alternatif yang kompetitif .

Didorongnya pemotongan subsidi sebagai salah satu dari sejumlah kebijakan untuk mencapai diversifikasi energi, menyatakan bahwa pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pertumbuhan energi rendah polusi dengan meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan, dengan menghentikan bahan bakar fosil subsidi secara bertahap.

Kenaikan harga bahan bakar utama berikutnya terjadi pada tahun 2008, tahun ketika harga pasar internasional akhirnya mencapai puncaknya dengan harga minyak mentah light sweet AS sebesar US$ 147,27 per barel.

Anggaran Indonesia telah disusun dengan asumsi harga minyak mentah US$ 95 per barel, menyebabkan belanja subsidi membengkak dari US$ 5 miliar yang telah direncanakan menjadi sekitar US$ 17,6 miliar.

Harga bahan bakar naik rata-rata sebesar 28,7%. Program bantuan tunai untuk mengkompensasi rumah tangga miskin atas kenaikan biaya hidup mereka digelontorkan, kali ini dengan biaya sebesar US$ 1,52 miliar.

Harga bensin merek Premium dan solar merek Solar kemudian diturunkan sedikit pada bulan Desember karena harga internasional mulai turun, meskipun tetap berada di atas level sebelum kenaikannya.

Pada bulan September dan November 2009, G20 dan Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), yang keduanya memasukkan Indonesia sebagai anggota berkomitmen untuk fase mengeluarkan dan merasionalisasikan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien yang berujung pada pemborosan konsumsi.

Dalam Nota Fiskal dan RAPBN 2010, pemerintah mengacu pada redesign of subsidi policy (Redesign Kebijakan Subsidi): rencana subsidi harga BBM yang ada diubah menjadi subsidi yang ditargetkan, dengan alasan terbukti rentan terhadap harga minyak internasional fluktuasi, dan bahwa subsidi yang ditargetkan dapat dirancang agar lebih akuntabel, tepat dan dapat diprediksi, memberikan kontribusi lebih banyak stabilitas pada anggaran negara.

Antara Januari dan Mei 2010, sejumlah artikel melaporkan kenaikan lebih lanjut anggaran subsidi tahunan, dikatakan karena kekhawatiran tentang pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis keuangan internasional, dan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyatakan bahwa sistem smartcard akan dikembangkan untuk membatasi penjualan bensin bersubsidi, memperkenalkan batas konsumsi harian dan melarang penggunaannya di kendaraan transportasi pribadi.

Pada bulan Maret 2010, Reuters melaporkan bahwa Menteri ESDM telah mengumumkan bahwa Indonesia mungkin berusaha untuk menghilangkan subsidi listrik dan bahan bakar seluruhnya pada tahun 2014-2015.

Pada bulan April 2010, Evita Legowo yang kala itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM mengumumkan rencana untuk memotong subsidi sebesar 40% pada tahun 2014 dan pembuatan rencana baru, yang akan dilaksanakan pada tahun 2011, yang hanya akan mengizinkan kendaraan angkutan umum yang diproduksi sebelum tahun 2000 untuk menggunakan bahan bakar bersubsidi.

Pada Mei 2010, Wakil Presiden Boediono mengumumkan bahwa kebijakan energi akan dilakukan dalam paradigma baru. Indonesia sejak lama menganggap minyak dan gas sebagai pendapatan pemerintah, padahal seharusnya digunakan sebagai sumber daya untuk mengembangkan ekonomi domestik. Dia menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi dalam negeri.

Berdasarkan catatan detikcom, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia membuat terobosan terkait kebijakan subsidi BBM, di mana mulai 1 Januari 2015, pemerintah mencabut subsidi BBM jenis Premium. Sedangkan Solar masih diberikan subsidi tetap Rp 1.000/liter.

Namun pada 2018, sikap Jokowi terhadap subsidi BBM berubah dengan tak menaikkan harga solar dan Premium hingga akhir 2019. Pemerintah beralasan hal tersebut dilakukan guna menjaga daya beli masyarakat yang kala itu masih belum pulih.

Masih di tahun yang sama, tepatnya pada 10 Oktober 2018, pemerintah sempat berubah pikiran untuk menaikkan harga Premium hingga kemudian dibatalkan dalam waktu singkat.

Jokowi pada 13 Oktober buka suara mengenai harga Premium yang batal dinaikkan. Dia mengatakan bahwa rencana kenaikan harga BBM untuk semua jenis sudah dibicarakan sejak bulan lalu.

Kenaikan yang akhirnya dilakukan pada BBM Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO karena kenaikan harga minyak dunia dan minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP).

“Kenaikan BBM bukan hanya Premium saja, Pertamax, dan lain-lain Dex sudah kita bicarakan sebulan yang lalu dan sudah kita putuskan naik. Naik karena memang harga ICP brent juga naik. Ya, naik,” ujar Jokowi di Istana Bogor.

Jokowi juga mempertimbangkannya ke daya beli masyarakat. Kenaikan harga BBM khususnya Premium jika dilakukan bisa berdampak langsung ke konsumsi masyarakat yang pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi masih dominan.

“Kita dalam proses pembalikan dari konsumsi ke produksi, tapi belum sampai,” kata Jokowi.

Baru-baru pemerintah mengumumkan Pertalite atau BBM RON 90 telah ditetapkan menjadi jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) seperti halnya BBM RON 88, Premium. Hal tersebut diungkap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII, Selasa (29/3/2022).

“Bensin RON 90 ditetapkan sebagai JBKP berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang JBKP,” katanya.

Namun belum diketahui akan seperti apa nasib Premium ke depannya. Sementara sudah sejak lama muncul wacana untuk menghapusnya.

 

Sumber : detik.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.