Sarung Indonesia adalah Simbol Budaya

0
141
ilustrasi

TNews, SEJARAH – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Hari Sarung Nasional pada 3 Maret 2019 di acara Sarung Fest di kawan Gelora Bung Karno, Jakarta. Hari Sarung Nasional memiliki makna sebagai kekayaan budaya yang tidak dimiliki bangsa dan negara lain.

Bagi masyarakat Indonesia, sarung atau kain sarung bukan hanya digunakan sebagai pelengkap untuk beribadah, tapi juga dipakai untuk pelengkap berbusana, selimut ketika tidur, bahkan untuk bermain dan masih banyak lagi.

Sarung tidak mengacu pada satu identitas agama tertentu saja, tetapi dimiliki oleh semua kalangan, sifatnya plural, dan bisa digunakan oleh siapa saja, baik pria maupun wanita. Dilansir dari laman Kemendikbud, sarung muncul di Indonesia sejak abad 14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah.

“Kain sarung berawal dari Yaman dan dulu produk mereka jadi yang paling unggul di dunia. Setelah itu berkembang dan dikenal di banyak negara, termasuk di Indonesia yang mengembangkan sarung dengan unsur budaya,” terang budayawan Ngatawi Al-Zastrow.

Sarung kini, sarung sudah menjadi simbol budaya bangsa yang patut dibanggakan. Anda bisa mendapatkan sarung dengan mudah di pasaran. Namun, untuk menentukan sarung yang tepat dan terbaik, tentu Anda perlu mempertimbangkan beberapa hal penting, seperti kualitas bahan, motif, kerapatan, jahitan, merek serta harganya.

Kain sarung sebeanrnya tidak hanya populer di Indonesia, tetapi kain ini banyak digunakan di sejumlah negara, terutama di Asia Tenggara. Sarung juga merupakan bagian kehidupan di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Mesir, Singapura, dan Myanmar, meski dengan sebutan yang berbeda. Di Mesir misalnya, sarung bukan digunakan untuk salat, tapi untuk baju tidur. Masuknya sarung ke Indonesia merupakan hasil dari bisnis dan perdagangan.

Seiring berjalannya waktu, sarung kemudian digunakan sebagai identitas dari perjuangan melawan penjajahan. Penggunaan sarung ini sendiri sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya barat yang dibawa oleh para penjajah waktu itu.

Sarung pun berkembang di seluruh pelosok Indonesia dengan beragam motif dan warna di masing-masing daerah.  Dalam zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa kaum penjajah.

“Waktu itu, masyarakat santri merupakan golongan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung. Sementara kaum nasionalis abangan justru hampir meninggalkan sarung dan menggantinya dengan celana formal yang dianggap lebih praktis dan moderen,” jelas Al Zastrow yang pernah menjadi juru bicara Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat menjabat Presiden RI ke-4. 

Pembeda Gaya Berpakaian

Sikap konsisten penggunaan sarung dilakukan oleh salah satu tokoh pejuang, KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting di Nahdhatul Ulama (NU). Suatu kali, ia diundang Presiden Sukarno ke Istana. Protokol istana menuntut berpakaian formal lengkap dengan jas dan dasi.

Saat itu, Abdul Wahab menggunakan jas tetap bawahnya menggunakan sarung untuk menghadiri upacara kenegaraan. Sebagai seorang pejuang yang berkali-kali bertempur melawan Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya yang tinggi di hadapan budaya barat.

Sarung juga kerap jadi pembeda gaya berpakaian di Indonesia dengan negara-negara lain, karena motif dan warnanya. Sekitar 12 tahun lalu, desainer Ali Charisma bersama sejumlah desainer lain telah mendorong sarung jadi busana nasional Indonesia.

Mereka juga ingin menyetarakan sarung dengan batik yang lebih dulu jadi wajah kultur Indonesia, bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2009. Upaya itu kemudian melahirkan kampanye bertajuk “Sarung is My Denim.

“Jadi Tagline itu maksudnya ingin membuat sarung jadi bagian tren busana yang nantinya bisa diterima masyarakat internasional,” jelas Ali. Desainer yang juga ketua Indonesia Fashion Chamber atau IFC ini, di negara lain, sarung tidak jadi bagian gaya hidup. Karenanya, para desainer lokal mengangkat kampanye tersebut agar sarung dapat jadi busana yang tak kalah modis.

Busana Modern

Ali mengaku bahwa masih terkesan sebagai “pakaian minoritas.” Maksudnya, sarung hanya dipakai kalangan santri maupun orang-orang tua di desa. Anggapannya masih berputar pada sarung merupakan busana kuno, tidak modis, dan tidak resmi jika dipakai ke berbagai acara.

“Sarung seharusnya jadi tren fesyen Indonesia, bahkan dunia. Usaha untuk menjadinnya sebagai busana yang modern dan diterima, khususnya di kalangan anak muda memang tidak mudah. Tapi, kita harus tetap mengembangkan sarung sebagai busana yang modis dan trendi,” ujar Ali.

Sementara menurut desainer Anna Mariana, penggunaan Sarung di Indonesia kebanyakan digunakan oleh kaum pria terutama untuk ibadah salat umat muslim. Selain itu, sarung banyak dipakai di rumah untuk bersantai dan bahkan untuk tidur.

Di beberapa daerah seperti di Makassar dan Palu, sarung digunakan untuk acara-acara adat yang secara turun temurun menjadi ciri khas budaya sebuah daerah.Sedangkan untuk pembuatan sarung umumnya terbagi menjadi dua, yaitu menggunakan alat tenun mesin (ATM) yang digerakkan oleh mesin dan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang digerakkan oleh manusia.

“Sarung yang dibuat dengan ATBM ada berbagai daerah di Indonesia dengan beragam motif, biasanya dikembangkan oleh para pengrajin secara turun temurun,” terang Anna.

“Motif sarung tradisional ini memang sangat khas dan tiap daerah punya ciri masing-masing, tapi mereka juga berusaha mengikuti perkembangan termasuk memantau tren warna yang terkadang berubah,” sambungnya.

Hari Sarung Nasional

Meski sarung sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, tapi perayaan Hari Sarung Nasional seperti kalah pamor dari Hari Batik Nasional yang dirayakan tiap tanggal 2 Oktober sejak 2009 lalu. Menurut Anna yang dikenal sebagai perancang kain tenun dan songket ini, ada berbagai faktor yang membuat sarung masih kalah gaungnya dari batik.

Salah satunya karena sarung sudah punya pengakuan secara resmi oleh hukum negara Indonesia dan secara administrasi negara. Selain itu, sarung juga sudah diakui oleh badan internasional yaitu Unesco.

“Pengakuan seperti itu juga sudah didapat oleh tenun dan songket, kita meratayakan Hari Tenun Siongket Nasional tiap tanggal 7 September. Selain itu ada juga Hari Wayang Nasioanl dan Hari Rempah Nasional. Sarung juga sudah ada Hari Sarung Nasional tapi mungkin harus diajukan ke lembaga internasional dalam hal ini ke Unesco,” tutur Anna.

Wanita yang pernah dinobatkan sebagai Pelopor Budaya Kain Tenun dan Songket Nusantara ini menambahan, pemgakuan internasional termasuk penting terutama agar tidak diklaim sebagai budaya dari negara lain.

“Selain itu perlu upaya untuk lebih mempopulerkan sarung seperti dengan menggelar acara khusus untuk memperingati Hari Sarung Nasional, atau usaha lain yang membuat banyak orang selalu mengingat kalau tanggal 3 Maret itu adalah Hari Sarung Nasional,” tutupnya.

 

 

Sumber : liputan6

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.