TNews, NASIONAL – Pemerintah mengusulkan pemerkosaan dan aborsi tidak diatur di dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy, mengatakan bahwa langkah tersebut perlu dilakukan untuk menghindari tumpang tindih aturan dengan regulasi lain. Menurutnya, pemerkosaan dan aborsi sudah diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Saya mampu meyakinkan satu ini, tidak akan pernah tumpang tindih dengan RKUHP, karena kita membuat matriks ketika akan menyusun RUU TPKS. Khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RKUHP,” kata Eddy dalam rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (31/3).
Pasal 245 RKUHP menyatakan, ‘Setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya’.
Sementara itu, Pasal 455 RKUHP menyebutkan, ‘Pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal 455 RKUHP mengatur soal orang yang mengancam dengan kekerasan secara terang-terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau barang, suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang, dan perkosaan atau dengan perbuatan cabul. Kemudian, suatu tindak pidana terhadap nyawa orang, penganiayaan berat, dan pembakaran’.
Ia melanjutkan, aborsi pun tidak ikut diatur dalam RUU TPKS karena telah diatur dalam Pasal 469 RUU KUHP mengenai pemaksaan aborsi.
“Pemaksaan itu kan berarti tanpa persetujuan. Nah, di dalam RUU KUHP itu adalah perempuan yang tanpa persetujuannya, kemudian dilakukan pengguguran janin dan lain sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana,” ujar Eddy.
Sebelumnya, Pemerintah memasukkan aborsi sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Hal itu diketahui dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah untuk RUU TPK yang tertuang dalam bahan Rapat Panja Senin, 28 Maret 2022.
Dalam DIM dimaksud tertulis: “Kekerasan seksual juga meliputi: f. aborsi”
Muatan tersebut menuai kritik dari Koalisi Save All Women & Girls (SAWG). Koalisi mengaku terkejut dengan muatan tersebut karena sejak tahun 2017 telah mengadvokasi akses layanan kesehatan reproduksi esensial termasuk aborsi aman di Indonesia. Koalisi menilai akan timbul ketidakpastian hukum apabila DIM Pemerintah diakomodasi oleh DPR. Sebab, menurut koalisi, aborsi juga diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Bahaya! Aborsi Dianggap Kekerasan Seksual! Apa Kabar Korban Perkosaan?” seru koalisi dalam keterangan resminya, Rabu (30/3).
“Pemerintah dan DPR haruslah dapat menjamin bahwa korban perkosaan tetap menjadi pengecualian untuk aborsi legal di Indonesia. Jangan sampai, upaya ingin menghapuskan kekerasan seksual dan memberi perlindungan kepada korban justru mereduksi akses aborsi perempuan korban perkosaan,” sambungnya.
Sumber : cnnindonesia