TNews, POLITIK – Dualisme kepengurusan partai politik kembali terjadi. Kali ini, gejolak muncul di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa telah diberhentikan dari jabatannya.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Muhammad Mardiono didapuk sebagai Plt Ketum PPP menggantikan posisi Suharso.
Suharso diberhentikan lewat forum rapat Mahkamah Partai yang digelar pada 2-3 September lalu. Keputusan pemberhentian itu merupakan usul dari tiga majelis PPP yakni Majelis Syariah, Majelis Kehormatan dan Majelis Pertimbangan.
Setelah itu, mereka menggelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) 4-5 September. Dalam Mukernas ini, Mardiono ditunjuk sebagai Plt Ketum PPP.
PPP kubu Suharso melalui Ketua DPP PPP Saifullah Tamliha menilai Mukernas yang memberhentikan Suharso tak sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).
Suharso hingga hari ini belum bersuara terkait tindakan para kader PPP memberhentikannya dari pucuk pimpinan dan menunjuk Mardiono sebagai Plt Ketum PPP.
Kisruh dualisme kepengurusan partai politik bukan barang baru dalam sejarah Indonesia. Terlebih sejak era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak internal partai yang terbelah.
Semisal dualisme kepengurusan Golkar dan PPP pada 2015 lalu. Konflik di internal Golkar dan PPP kala itu terjadi karena satu kelompok ingin mendukung pemerintahan Jokowi, sementara kelompok lainmau menjadi oposisi.
Partai Hanura juga mengalami dualisme kepengurusan pada 2018 lalu. Konflik bermula ketika beberapa pengurus daerah mengajukan mosi tidak percaya kepada Ketua Umum Osman Sapta Odang (OSO) pada Januari 2018.
OSO sempat dipecat dengan alasan kerap menerbitkan SK ganda dan memungut uang mahar bagi calon kepala daerah. Konflik kemudian terus meruncing hingga akhirnya muncul kubu ‘Ambhara’ yang mengadakan Munaslub dan menetapkan Daryatmo sebagai ketua umum partai.
Sementara di sisi lain muncul kubu Hanura ‘Manhattan’ yang tetap menjadikan OSO sebagai Ketum. ‘Ambhara’ dan ‘Manhattan’ merujuk pada nama hotel tempat dua kubu menggelar rapat.
Menkumham Yasonna kemudian menerbitkan SK kepengurusan ke kubu OSO dengan alasan keperluan verifikasi partai menjelang Pilkada. Akibat konflik ini, Hanura gagal lolos ke DPR pada Pemilu 2019.
Konflik juga menyasar Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto pada 2020. Konflik ini bermula ketika pengurus DPP Berkarya Muchdi PR bersama Badaruddin Andi Picunang menyatakan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019.
Sementara Tommy secara kelembagaan partai telah menyatakan dukungan terhadap Prabowo danSandiaga Uno. Tommy Soeharto lantas dikudeta dari kursi ketua umum. Berkarya versi Munaslub lantas disahkan Kementerian Hukum dan HAM dengan Ketum Muchdi PR.
Kemudian konflik juga terjadi di Partai Demokrat. Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkap ada pihak yang ingin melakukan kudeta pada 1 Februari 2021.
Tudingan kudeta itu pun berujung pada pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara pada 5 Maret 2021. Dalam acara tersebut, Kepala Staf Presiden Moeldoko ditunjuk sebagai ketua umum.
Meski demikian, upaya ‘mengkudeta’ AHY dari kursi ketum Demokrat itu gagal membuahkan hasil. Kemenkumham tetap mengakui kepengurusan AHY, bukan Moeldoko.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai maraknya dualisme kepengurusan partai yang terjadi di era Jokowi punya kaitan erat dengan kelompok berkuasa.
Ujang menjelaskan prinsipnya kelompok yang berkuasa tak ingin diganggu kerja dan kepentingannya oleh pihak lain. Karenanya, pihak berkuasa harus ‘menaklukan’ kelompok oposisi atau pihak bersebrangan yang dianggap ‘menganggu’. Sehingga, wajar partai yang sebelumnya menentang pihak berkuasa, justru berbalik menjadi mendukung.
“Karakter kekuasaan biasanya ingin menaklukan parpol yang bersebrangan atau lawan politik. Intinya agar pemerintah aman dan tenang, maka harus ditaklukan dan meminimalisir oposisi,” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/9).
Ujang lantas mencontohkan dualisme yang terjadi di internal PPP di tahun 2015 lalu dan Partai Berkarya tahun 2020 lalu. Kala itu, PPP di bawah pimpinan Suryadharma Ali mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Kemudian, Berkarya di bawah Tommy Soeharto mendukung Prabowo-Sandiaga Uno.
Ujang mengatakan Jokowi pasti membutuhkan dukungan besar parpol untuk menjalankan kinerja pemerintahan. Sehingga, parpol yang awalnya bersebrangan dipecah untuk mendukung pemerintah.
“Tak aneh dan tak heran, jika PPP, Partai Berkarya awalnya dukung Prabowo [di Pilpres] takluk dan merapat ke pemerintah. Suka enggak suka ya dipecah, siapa yang mecah? Ya yang punya kekuasaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ujang menjelaskan terdapat pola yang dilakukan oleh pihak berkuasa untuk menaklukan parpol lain agar bergabung. Caranya dengan menggandeng pihak di internal parpol yang punya loyalitas kepada penguasa. Cara lain adalah pihak berkuasa dapat menaruh seseorang dari eksternal untuk masuk ke suatu parpol.
“Ya dengan dipecah dari dalam ada yang persekutuan orang dalam dan luar. Berkarya itu kasusnya dari luar. Demokrat perpaduan internal dan eksternal, PPP dari dalam,” kata Ujang.
Sumber: cnnindonesia.com