TNews, NASIONAL – Kalangan akademisi angkat bicara terkait kenaikan harga BBM. Mulai dari persoalan tata kelola BBM bersubsidi hingga kuota BBM yang tersedia.
Merespons isu ini, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan Diskusi Akademik yang bertajuk BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsidi, antara Beban APBN, Ketersediaan dan Keberlanjutan, pada Kamis (22/9/2022) kemarin.
Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, SIP., MPA., Ph.D., mengatakan ketersediaan energi adalah bagian dari pelayanan yang diberikan oleh negara selain pangan.
Menurutnya, energi menjadi barang publik yang paling esensial. Negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi tersebut agar bisa diakses oleh masyarakat.
“Negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi, harus cukup, terjangkau, dan dapat diakses,” katanya dikutip dari laman resmi UGM.
Kebijakan Pemerintah Perlu Dievaluasi
Wawan juga mengatakan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi perlu dievaluasi. Sebab, menaikkan harga BBM bersubsidi sebaiknya bukan lagi dari alasan beban anggaran.
“Perlu evaluasi secara komprehensif soal tata kelola. Selama ini, pengambilan kebijakan didominasi pada rezim keuangan. Jika masalah pada subsidi tidak tepat sasaran bukan dihilangkan, namun perlu tata kelola yang baik,” ucapnya.
Menurutnya, kenaikan harga BBM bukan persoalan besarnya beban anggaran subsidi, namun harus dilihat dari perspektif tanggung jawab negara untuk memastikan ketersediaan dan akses pada energi tersebut.
“Jangan sampai jika tidak tersedia dan tidak bisa diakses. Karenanya perlu dirancang transisi energi pada energi baru dan terbarukan. Menggantungkan pada energi fosil adalah pemikiran lampau. Saya kira kebijakan transisi energi sangat penting,” imbuh Wawan.
BBM Bersubsidi Bisa Tidak Tepat Sasaran
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Agung Satrio Nugroho, M.Sc., memaparkan pendistribusian BBM bersubsidi kemungkinan bisa tidak tepat sasaran di mana seharusnya hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat kecil.
Dari hasil riset yang dilakukan oleh PSE, lebih dari 7.000 kecamatan di Indonesia sekitar 42 persen saja yang sudah memiliki penyalur distribusi resmi BBM bersubsidi atau SPBU.
“Artinya aksesibilitas fasilitas ketersediaan BBM itu belum separuh lebih,” ungkapnya.
Anggota peneliti PSE UGM lainnya, Yudistira Hendra Permana, Ph.D., juga menjelaskan bahwa anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak tahun 2015.
Namun, pada tahun 2017 pertalite diperkenalkan dan premium mulai dihilangkan. Sayangnya, harga pertalite tidak banyak berubah.
Setelah premium dihapuskan, masyarakat beralih ke pertalite karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan BBM non subsidi lainnya.
“Dari kebutuhan sebelumnya hanya satu juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan. Tampaknya kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun,” papar Yudistira.
Pasokan Kuota BBM Bersubsidi Habis Bulan Oktober
Terkait pasokan kuota BBM bersubsidi, anggota peneliti PSE lainnya, Saiqa Ilham Akbar, M.Sc. menyampaikan bahwa kuota BBM yang terbatas akan habis.
Ia menerangkan bahwa kuota BBM terbatas yang dimaksud hanya pada pasokan kuota BBM bersubsidi yang akan habis pada pertengahan Oktober ini. Namun bukan berarti produk BBM lainnya tidak ada.
“Jika tidak ada pertalite maka masyarakat akan mengakses BBM non bersubsidi. Karena kilang minyak kita tetap berjalan memproduksi BBM,” tuturnya.
Sementara itu, Raras Cahyafitri M.Sc., dari Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM menuturkan, kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak bagi masyarakat kecil dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan bantuan kompensasi dari kenaikan harga BBM. Sebab, soal kebijakan subsidi BBM menurutnya sudah ada sejak era Orde Baru.
“Tapi sebagai negara net importir minyak, kebijakan subsidi perlu dievaluasi kembali apakah perlu dipertahankan atau tidak di tengah adanya ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang masih belum optimal,” tutupnya.
Sumber : detikEdu.com