TNews, NASIONAL – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong agar tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang di Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10) ditetapkan sebagai Hari Berkabung Nasional.
Komisioner KPAI Retno Listyarti juga mengusulkan mengheningkan cipta turut dilakukan setiap tanggal tersebut.
“Mendorong Pemerintah Tetapkan Hari Berkabung Nasional Atas Tragedi Tewasnya ratusan Supporter di Kanjuruhan, termasuk korban usia anak dan mengheningkan cipta serentak selama 3 menit,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/10).
Retno menyebut bahwa tragedi Kanjuruhan merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sepak bola di dunia, khususnya Indonesia. Kejadian serupa pernah terjadi pada tahun 1964 di kota Lima, Peru. Kejadian yang menewaskan 328 jiwa pada dekade 1960an di Peru tersebut, kata dia, penyebabnya pun sama dengan yang terjadi di Kanjuruhan pada 2022 ini.
“Dan penyebabnya sama seperti di stadion Kanjuruhan, yaitu penggunaan gas airmata oleh aparat,” ucapnya.
Menurutnya, gas air mata memang sangat berbahaya, terlebih bagi anak. Sebab efeknya fatal seperti kulit terasa terbakar, rasa perih di mata, hidung berair, batuk dan rasa terbakar parah di tenggorokan.
“Jika serbuk tersebut masuk hingga ke paru paru menyebabkan nafas pendek, sesak nafas,” ujarnya.
“Itulah mengapa penggunaan gas Air mata tersebut dilarang oleh FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion,” imbuhnya.
Selain itu, Retno berkata KPAI juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan, Malang.
Tanggung jawab itu, kata retno, tak sekadar santunan, tetapi rehabilitasi psikis bagi para korban, terutama anak-anak yang saat ini masih dirawat di rumah sakit.
“Begitupun bagi anak-anak yang orangtuanya meninggal saat tragedi ini butuh dukungan negara, karena mereka mendadak jadi yatim atau bahkan yatim piatu, tulang punggung keluarganya ikut menjadi korban tewas dalam peristiwa ini,” ucap Retno.
Sebagai informasi, Tragedi Kanjuruhan itu berawal ketika sejumlah suporter Arema FC atau Aremania turun ke lapangan ketika timnya dikalahkan Persebaya dengan skor 2-3. Aparat kemudian mengamankan, dan mengawal para pemain dan ofisial kembali ke ruang ganti. Selain itu, mereka pun mencoba untuk membuyarkan massa di lapangan hingga menggunakan gas air mata yang juga berdasarkan kesaksian dilontarkan pula ke arah tribun.
Para aremania yang berada di tribun pun panik, sehingga berdesak-desakan keluar dari stadion. Di tengah kepanikan itu, banyak penonton mengalami sesak napas, terjatuh, dan terinjak-injak hingga tewas.
Sumber: cnnindonesia.com