TNews, YOGYAKARTA – Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta kembali mempersembahkan Jogja Cross Culture (JCC) di jantung Kota Yogyakarta pada hari Sabtu mendatang, 20 Mei 2023 pukul 19.30 WIB bertepatan dengan car free night di Jalan Malioboro. Jogja Cross Culture adalah kegiatan yang diselenggarakan setiap tahun, dan tahun 2023 ini adalah gelaran yang kelima kalinya. Tahun 2023 ini secara khusus mengambil tema “Tatag, Teteg, Tutug” yang diselaraskan dengan materi dari tema yang diusung, yaitu musik perkusi.
“Yang menarik, musik perkusi ini akan berkolaborasi dengan para seniman perkusi dengan hampir 300 seniman wilayah 14 kemantren,” kata Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, Selasa (15/5/2023).
“Tema Jogja Cross Culture diangkat sebagai upaya reproduksi dalam merayakan keragaman. Tidak hanya perayaan kolektif, perhelatan ini diharapkan dapat menciptakan ruang kontemplasi untuk membentuk mentalitas diri yang kuat (tatag), membentuk ketahanan dan konsistensi (teteg), juga tuntas dalam melaksanakan tanggung jawab (tutug). Nilai-nilai itu membawa kita pada tekad dalam mengenali keanekaragaman ekosistem secara lebih luas : relasi manusia, kebudayaan, dan kosmologinya. Temuan istilah tatag, teteg, tutug dengan perkusi ini juga bersumber dari istilah masyarakat Jawa ketika mendengar sumber bunyi dari benda-benda sekitar, “tambah Yetti.
Program Director JCC, RM Altiyanto Henryawan menjelaskan, Jogja Cross Culture merupakan perhelatan seni lintas budaya yang dikemas dengan memanfaatkan perkembangan teknologi seni pertunjukan. Dengan dukungan dana keistimewaan, Jogja Cross Culture sebagai salah satu ikon event seni budaya di Yogyakarta dan menyuguhkan pembaharuan-pembaharuan yang menjangkau lintas budaya secara luas.
“Kota Yogyakarta tumbuh dengan sisi keragamannya, termasuk Malioboro. Kehadiran musik perkusi yang dikemas dan kemudian dibentuk, dipresentasikan lewat seni suara dengan pemanfataan teknologi. Sehingga ini juga menjadi hal yang lengkap dengan budaya dan kesenian dan juga dengan teknologinya, “tutur Altiyanto.
“Selain menghadirkan kemeriahan, gegap gempita di Malioboro tentunya juga memberikan wacana-wacana bagi publik dan perkembangan kebudayaan itu sendiri. Wacana-wacana ini bisa ditangkap, dikembangkan oleh publik sebagai bentuk dinamika kebudayaan kota, sehingga kota ini menjadi spesifik dibandingkan wilayah-wilayah lain. Ini menjadi spirit kami, persembahan kami bersama para seniman seluruh kemantren se-Yogyakarta, “ujar Altyanto lebih lanjut.
“Selain itu, Jogja Cross Culture ini juga mulai menjadi magnet dari wilayah-wilayah luar Yogyakarta yang ingin menjadi bagian untuk tampil di Jogja Cross Culture, “tambahnya.
Pemanfaatan Malioboro sebagai ruang publik selayaknya juga menjadi ruang budaya yang mengekspresikan capaian-capaian peradaban Kota Yogyakarta dan terbuka untuk keragaman budaya. Bukan hanya sebagai pusat perbelanjaan.
Malioboro memiliki sejarah panjang melahirkan banyak seniman besar yang berkontribusi dalam memperluas kota dengan imajinasi dan pikiran penikmatnya. Oleh sebab itu, penting untuk terus menghidupkan ikon seni budaya ini untuk menjaga geliat para seniman dalam menciptakan produk-produk seni.
Hadir dalam acara sosialisasi ini, Daniel Caesar sebagai kurator mengatakan, bahwa ide dan gagasan Jogja Cross Culture tahun ini berangkat dari kekayaan instrumen perkusi Indonesia yang merepresentasikan wajah multi-rasial yang ada di Nusantara. Yogyakarta sebagai Indonesia mini menjadi tempat strategis untuk menyuarakan dan merayakan keragaman.
“Perkusi lahir dengan alat-alat sederhana. Jogja Cross Culture akan mengembalikan perkusi ke tangan rakyat dengan gerakan musikal yang disebut body percussion. Wasis Tanata bersama Denny Dumbo selaku komposer membahasakan tatag, teteg, tutug lewat komposisi dari tafsir sumbu filosofi Yogyakarta yang diberi nama ‘Ritus Tetabuhan’. Komposisi ini menjadi pembacaan ulang sumbu filosofi Yogyakarta,” terang Daniel.
Untuk menikmati pertunjukan tersebut, Gatot Danar Sulistiyanto selaku audio system designer menggunakan sistem spatial audio yang menggunakan 50% lebih technological value. Dengan sistem ini, audies dapat memilih sudut dengar untuk memaknai audio secara mandiri dengan pengalaman estetika personal yang berbeda-beda. Begitu juga dengan Lintang Raditya selaku lighting designer, melalui konsentrasinya pada seni dan teknologi, ia memaksimalkan komposisi lighting agar menjadi satu kesatuan dengan pertunjukam dan jalanan Malioboro yang kompleks.
Lebih lanjut Daniel mengatakan, spirit yang diangkat adalah spirit kesederhanaan, gotong royong, kebersamaan, -bersatu menjadi satu sinergi pertunjukan. Kawasan Malioboro akan kami beri area sepanjang 7 x 80 meter yang akan digunakan sebagai pentas tanpa panggung.
Yetti berharap pengalaman kreatif bersama ini harapannya akan menjadi wadah ekspresi dan ruang tumbuh bersama antar para pelaku seni budaya di Yogyakarta.
Reporter : Clementine